Mempersoalkan Kembali „Keseimbangan“

Kompas, 10 April 2007

Pemilihan Umum

SIDIK PRAMONO

Logo-KompasSudah lebih dari 60 tahun usia kemerdekaan Indonesia yang terentang antara Sabang sampai Merauke. Hanya saja, mengapa membicarakan Indonesia sepertinya terdikotomi soal Jawa dan luar Jawa? Dalam perdebatan menjelang setiap pemilihan umum dilakukan, pembicaraan „keseimbangan“ proporsi kursi DPR antara wilayah Jawa dan luar Jawa senantiasa mengemuka.

Sejak Pemilihan Umum 1955 dilangsungkan, soal perimbangan jumlah anggota DPR yang dipilih di Jawa dan luar Jawa diperhatikan secara khusus. Bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu Anggota Badan Permusjawaratan/Perwakilan Rakjat menyebutkan, „Apabila dalam pemilihan umum dipergunakan dasar djumlah penduduk, maka djumlah wakil jang dipilih dari pulau Djawa akan banjak melebihi wakil dari luar Djawa. Mengingat luas dan potensinja daerah- daerah di luar Djawa jang djumlah penduduknja kurang dari pada Djawa, maka perlu kiranja daerah luar Djawa tersebut mendapat perwakilan sesuai dengan kepentingannja daerah tersebut“.

Alhasil, pada Pemilu 1955 itu, ketika Indonesia terbagi menjadi 16 daerah pemilihan dengan 260 kursi DPR yang diperebutkan; sebanyak 168 kursi atau sebanyak 64,61 persen total kursi diperebutkan di empat daerah pemilihan di Jawa. Sementara jika merujuk jumlah penduduk, wilayah Jawa penduduknya mencapai 51,64 juta jiwa atau setara dengan 66,21 persen total penduduk Indonesia. Kuota per satu kursi DPR setara dengan 300.000 jiwa penduduk, sekalipun ada perkecualian untuk Kalimantan Timur, Maluku, dan Irian Barat yang masing-masing mendapatkan 3 kursi DPR sekalipun penduduk masing-masing wilayah itu kurang dari 900.000 jiwa.

Saat Pemilu 1999, setiap kabupaten/kota dijamin memperoleh minimal satu kursi DPR. Saat itu sebenarnya kuota riil setiap kursi DPR sebanding dengan 450.000 penduduk. Pada pemilu pertama semasa era reformasi itu, tetap saja ada perkecualian. Provinsi Timor Timur dengan 891.000 jiwa penduduk dan 13 daerah tingkat II hanya memperoleh jatah 4 kursi DPR. Bandingannya adalah Bengkulu yang berpenduduk 1.566.100 jiwa yang hanya memperoleh 4 kursi karena jumlah daerah tingkat II-nya memang hanya 4. Alasan yang dikedepankan adalah pengutamaan „asas keadilan dan keseimbangan“. Apa jadinya jika Timor Timur ketika itu memperoleh lebih banyak kursi dibandingkan Bengkulu, sementara perbedaan jumlah penduduknya pun sangat timpang?

Sampai pada Pemilu 2004 pun, perhitungan keterwakilan senantiasa didasari pertimbangan soal „keseimbangan“ Jawa dengan luar Jawa? termasuk memayunginya dengan peristilahan daerah berkepadatan penduduk tinggi dan rendah. Alhasil, „harga“ kursi DPR menjadi tidak setara, bahkan sangat timpang antara satu daerah dan daerah lainnya. Itulah yang membuat Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin kerap meledek soal inkonsistensi penerapan satu nilai dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat dengan suara pemilih langsung dihitung tanpa bermacam-macam „pembobotan“. Penduduk di Jawa dihargai „lebih mahal“ ketika pemilu legislatif, namun sama nilainya ketika pemilu presiden dilangsungkan.

Statistika politik?

Pada Pemilu 2004, dari 550 kursi DPR, sebanyak 312 kursi atau sebanyak 56,67 persen total kursi DPR diperebutkan di wilayah Jawa dan Bali. Jika melihat jumlah penduduk, wilayah Jawa dan Bali jumlah penduduknya mencapai 130,574 juta jiwa atau mencapai 60,76 persen total penduduk Indonesia saat itu. Jika hanya sekadar menuruti prinsip one person one vote one value (OPOVOV) murni, yaitu alokasi kursi DPR semata-mata didasarkan atas jumlah penduduk, memang wilayah Jawa-Bali akan mendominasi alokasi kursi DPR.

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indra J Piliang menyebutkan, komposisi anggota DPR dari daerah pemilihan di Pulau Jawa dan luar Jawa adalah sebuah keputusan politik karena pasti ada rasionalitas yang susah dijelaskan. Kebanyakan penentuan pembagian pemerintahan bukan hanya didasarkan pada angka statistik, tetapi juga dengan melibatkan faktor lain, seperti luas wilayah, rentang kendali pemerintahan, bisa juga berdasarkan indeks pembangunan manusia. Keseimbangan kursi DPR dari Jawa dan luar Jawa akan lebih baik jika ditegaskan saja dalam revisi undang-undang pemilihan umum. Karenanya, untuk menghindarkan terjadinya kontroversi berkelanjutan, akan lebih baik jika „keseimbangan“ Jawa dan luar Jawa terkait dengan kursi DPR itu dipatok saja dalam undang-undang; bisa dimasukkan dalam aturan peralihan ataupun di bagian lampiran. „Jadi, biar saja pertarungannya di sana, saat pembahasan undang-undang,“ sebut Indra.

Sejauh ini, ide „keseimbangan“ perwakilan dari Jawa yang lebih banyak penduduknya dengan luar Jawa yang lebih luas wilayahnya memiliki dasar argumentasi masing-masing yang bisa dipahami, namun menjadi sukar „disatukan“ dalam implementasi alokasi kursi DPR. Bagi Indra Piliang, jika ukurannya hanya jumlah penduduk, sudah pasti perwakilan dari luar Jawa kalah banyak dibandingkan penduduk di Jawa. Sementara jika soal kondisi rural dan urban, faktanya wilayah luar Jawa masih tertinggal pembangunannya sehingga butuh perwakilan politik yang lebih banyak.

DPD terlupakan?

Sejak UUD 1945 diubah, konstelasi parlemen pun berubah. Jika semula hanya ada DPR, Pemilu 2004 juga menghasilkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kehadiran DPD dimaksudkan untuk mengakomodasi aspirasi daerah, untuk memperkukuh negara kesatuan Republik Indonesia. Tanpa memperhitungkan banyak-sedikitnya penduduk, setiap provinsi bisa mengirimkan empat wakilnya untuk duduk di DPD. Hasil Pemilu 2004, dari total 128 anggota DPD, sebanyak 104 anggotanya mewakili provinsi di luar Jawa.

Mantan anggota KPU yang kini Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum menekankan, kehadiran DPD sebenarnya mesti diperhitungkan sebagai „penjaga keseimbangan“ itu. Jika DPR diposisikan sebagai perwakilan penduduk, DPD merupakan perwakilan ruang atau wilayah. Kehadiran DPD semestinya dipandang sebagai perbaikan atas keterwakilan penduduk di luar Jawa. Anggota DPR yang mewakili penduduk Jawa lebih banyak karena memang jumlah penduduknya lebih besar. Sebaliknya, jumlah anggota DPD yang mewakili wilayah luar Jawa pun tentu lebih banyak karena jumlah wilayah administratif di luar Jawa lebih banyak. Namun, harus diakui bahwa kondisi ideal tersebut sulit dicapai. Persoalan menjadi semakin rumit ketika DPD ternyata tidak difungsikan maksimal. Kalau saja DPD diberikan peran lebih besar ketimbang saat ini, mungkin saja disparitas Jawa dan luar Jawa bisa sedikit diminimalisasi.

Sudah lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka. Sekalipun begitu, soal „keseimbangan“ merupakan hal lama yang selalu butuh energi ekstra untuk menerjemahkannya.

Jadi, kita tunggu perdebatannya dalam revisi undang-undang pemilu? <>


Tags: , , , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami