KPU yang Kini Menuai Rumitnya UU Pemilu

Kompas, 30 Juli 2003

Logo-Kompas-500x337ADA rumus hitungan mudah yang menjadi rumit ketika diterapkan, bisa jadi penetapan Dewan Perwakilan Rakyat untuk setiap pada 2004 merupakan salah satunya. Bagaimana tidak? Komisi Pemilihan Umum mengutak-atik alokasi kursi dari semua provinsi sehingga jumlahnya harus pas 550 kursi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang pemilu anggota.

Seperti diakui Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti dan anggota KPU Mulyana W Kusumah, alokasi kursi DPR tiap provinsi ini secara teknis rumit. Berbeda dengan ketentuan alokasi kursi DPRD yang semata-mata didasarkan pada jumlah penduduk provinsi bersangkutan (plus kekhususan untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua), penetapan kursi DPR mau tidak mau akan menjadi keputusan dengan pertimbangan politis.

Adalah pedoman penetapan kursi yang membuat itu semua menjadi pelik. Pasal 48 Ayat (1) UU No 12 /2003 menyatakan, Jumlah kursi anggota DPR untuk setiap provinsi ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk dengan memperhatikan perimbangan yang wajar. Bagian penjelasannya menyebut, perimbangan wajar adalah (a) alokasi kursi provinsi dihitung berdasarkan kepadatan penduduk dengan kuota setiap kursi maksimal 425.000 untuk daerah yang kepadatan penduduknya tinggi dan 325.000 untuk daerah yang kepadatan penduduknya rendah; (b) jumlah kursi setiap provinsi tidak kurang dari jumlah kursi pada Pemilu 1999; dan (c) provinsi baru hasil pemekaran, setelah Pemilu 1999 memperoleh sekurangnya tiga kursi.

KPU harus melaksanakan ketentuan itu dalam mendistribusikan kursi DPR untuk 30 provinsi yang jumlahnya harus pas 550-tidak lebih, tidak boleh kurang.

Data yang akan jadi acuan adalah hasil Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) yang diserahkan Badan Pusat Statistik, bulan Juli lalu.

KPU mengategorikan wilayah dengan kepadatan tinggi jika rasio jumlah penduduk dengan luas wilayahnya lebih dari 600 jiwa per kilometer persegi. Artinya, enam provinsi di Jawa termasuk daerah dengan kepadatan tinggi dan 24 provinsi lain adalah kepadatan penduduk rendah.

KPU juga menyatakan, kursi minimal tidak kurang dari hasil Pemilu 1999 itu dihitung sebagai akumulasi kursi provinsi induk dan provinsi pemekaran. Alasannya, pemekaran provinsi berkonsekuensi dengan perubahan wilayah dan komposisi penduduknya.

Di sisi lain, dianutnya prinsip itu juga mengurangi kerumitan jika memang kemudian Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Irian Jaya Barat jadi terealisasi sebelum akhir September 2003, seperti pernah disebutkan Departemen Dalam Negeri. Tambahan alokasi kursi minimal tiga kursi DPR untuk kedua provinsi baru itu diakumulasikan dengan provinsi induk, yaitu Riau dan Papua. Dengan hitungan seperti itu, kuota per kursi untuk keempat provinsi itu ditetapkan sesuai UU.

Mari bersimulasi. Asumsikan saja KPU akan memprioritaskan terlebih dahulu 24 provinsi di luar Jawa. Jumlah penduduk tiap provinsi dibagi dengan kuota per kursi 325.000. Padukan juga dengan aturan bahwa provinsi baru mendapat minimal tiga kursi, dan perolehan kursi setiap provinsi tidak boleh kurang dari Pemilu 1999.

Ada tujuh provinsi yang kuota per kursinya kurang dari 325.000. Dua provinsi baru, yaitu Gorontalo dan Maluku Utara, terikat pada aturan minimal tiga kursi.

Sementara kursi untuk Provinsi Papua, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Barat tidak boleh kurang dari Pemilu 1999. Setelah dibagi dengan pembulatan ke bawah, maka jumlah kursi yang harus dialokasikan untuk 24 provinsi itu adalah 271 kursi.

Berikutnya, untuk Jawa yang berpenduduk 127,217 juta jiwa atau 59,29 persen dari 214,56 juta penduduk Indonesia, jumlah kursi didapat dengan membagi kuota 425.000 tiap kursi. Hasilnya, keenam provinsi punya 297 kursi.

Jika seluruh kursi provinsi di Jawa dan luar Jawa dijumlah, yang muncul lebih dari 550 kursi, seperti ditentukan UU. KPU dipaksa “menabrak” ketentuan UU.

Salah satu alternatif yang mungkin akan diambil KPU adalah dengan memprioritaskan dulu alokasi kursi 24 provinsi berkepadatan penduduk rendah yang jumlahnya 271 kursi. Kursi yang tersisa menjadi 279 kursi dan harus didistribusikan pada enam provinsi di Jawa yang berkepadatan penduduk tinggi.

Dengan dasar itu, kuota per kursi DPR untuk ke-6 provinsi menjadi 455.000 per kursi, atau melewati batas maksimal 425.000 yang ditentukan UU. Namun, dengan pilihan ini, perolehan kursi DPR untuk kelima provinsi tetap lebih banyak daripada Pemilu 1999 dan kursi untuk Banten lebih besar ketimbang ketentuan 3 kursi minimal di provinsi baru.

Harus diakui, posisi KPU menjadi dilematis. Semuanya menyebabkan KPU harus melanggar ketentuan. Menghitung tepat alokasi kursi sesuai UU menjadikan jumlah kursi yang harus dibagi melebihi patokan kursi DPR sebanyak 550 kursi.

Karenanya, tidak heran jika Presiden Komite Independen Pemantau Pemilu Eropa Pipit R Kartawidjaja hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika ditanya alokasi kursi dan penetapan daerah pemilihan anggota DPR. Hitungan Pipit, apa pun keputusan KPU, yang muncul adalah ketidaktaatan pada UU. “Aturan satu sama yang lain tidak sinkron, kok,” katanya.

Aturan UU-nya memang inkonsisten satu sama lain. Ini mestinya menyadarkan DPR dan pemerintah yang menyusun UU, bahwa UU bukan sekadar permufakatan politik. UU juga harus bisa diaplikasikan.

Lembaga swadaya masyarakat juga tidak bisa lepas tangan karena sangat sedikit yang berkonsentrasi pada persoalan teknis semacam ini. Sayangnya, ketika aturan UU saling tabrakan, biasanya yang terjadi adalah saling melempar tudingan. “Ini semua kesalahan kita yang lebih suka ngomong besar, seperti sistem pemilu dan lain-lain itu,” celetuk Pipit. “Kalau sudah begini, coba, mau apa lagi?”

(Sidik Pramono)



Tags: , , , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami