Kontroversi Sistem Proporsional Daftar Tertutup

Sinar Harapan, 27 November 2002

Oleh Pipit R. Kartawidjaja

logo Sinar HarapanTiga fraksi DPR „kelas kakap“ (F-PDIP, F-PG dan F-PPP), menolak RUU usulan pemerintah guna menerapkan sistem proporsional daftar terbuka untuk pemilu (pemilihan umum) DPR mendatang. Alasannya, penentuan calon legeslatif (caleg) adalah hak parpol peserta pemilu. Pada hal, proporsional daftar tertutup banyak menerima kecaman tajam. Dan itu layak, soalnya dalam pemilu 1999, caleg parpol yang berada di urutan teratas, bisa didepak, kendati parpol itu jelas-jelas memperoleh suara cukup untuk dibagikan kepada para caleg yang telah tersusun di daftar.  Ambil contoh apa yang terjadi pada PPP. Ratusan pemuda dari Gerakan Pemuda Ka’bah, berunjuk rasa di kantor DPP PPP di Jakarta Pusat. Sekjen PP GP Ka’bah, Emron Pangkapi menyatakan, protes tersebut dilakukan karena dalam penetapan caleg, PPP melakukannya atas dasar kemauan Ketua Umum dan Sekjen. Dicontohkan di Sumatra Utara, Barlianta Harahap (Asahan) yang meraih suara terbanyak (67.678 suara) dan termasuk memperoleh jatah kursi justru tidak tercantum dan diganti HM Danial Tanjung (Langkat dan kemudian pindah ke daerah perwakilan Kodya Sibolga) yang perolehan suaranya hanya 51.544 suara“.  Nasib serupa menimpa pula nasib para caleg PDI-P. Seusai pemilu 1999, PDI-P mengubah susunan daftarnya. Alasannya, agar susunan komposisi caleg muslim dan non-muslim lebih seimbang. Seorang mantan aktivis, namanya diletakkan di daftar teratas, dalam urutan PDI-P di suatu daerah. Dan di sana, ternyata PDI-P unggul secara mutlak. Sang aktivis yang telah siap boyongan ke Jakarta untuk menjadi anggota DPR itu, tiba-tiba harus mengurungkan niatnya. Ia didepak dan kursinya diisi oleh caleg „karbitan Jakarta“. Namun rupanya, tindakan DPP PDI-P di Jakarta dianggap sah, sebab namanya juga daftar tertutup.

Daftar Tertutup, Daftar Terbuka dan Daftar Bebas

Cara pencalonan wakil-wakil rakyat adalah salah satu perangkat teknis sistem pemilu. Ini menyangkut hubungan antara sang pemilih dengan kandidat. Dalam sistem pemilu proporsional, dikenal daftar tertutup, daftar terbuka dan daftar bebas. Untuk sistem mayoritas (lebih populer disebut sistem distrik), cara pencalonannya dikandangkan ke dalam daftar terbuka. Kendati sistem proporsional, lewat daftar terbuka, pemilih yang memiliki satu suara dapat mencoblos satu nama dari sederet nama wakil rakyat yang ditawarkan oleh Parpol peserta pemilu. Disebutnya, pemilih memilih orang, dan bukan gambar partai. Disebut terbuka, oleh sebab sang pemilih bisa memilih salah satu caleg yang dijajakan secara transparan. Yang lebih menarik lagi adalah daftar bebas. Sang pemilih memiliki banyak suara, sehingga ia bisa royal mencoblos beberapa caleg. Bahkan lebih dari itu, sang pemilih boleh memilih caleg berbeda dari partai politik peserta pemilu. Dalam sistem mayoritas/distrik yang mengizinkan pemilih memiliki lebih dari satu suara, stelsel daftarnya disebut daftar bebas. Kontras terhadap daftar terbuka dan daftar bebas adalah daftar tertutup. Hanya, daftar tertutup di Indonesia memang aneh. Ia terjemahan langsung dari „closed list“, tetapi gaya Indonesia.

Di Indonesia daftar tertutup dikenal sebagai pemilih memilih gambar partai. Sehingga terkesan orang memilih „tikus dalam karung“. Jerman yang mengenal sistem campuran misalnya, menerapkan closed list untuk sistem pemilu proporsionalnya. Akan tetapi di sana, terjemahan closed list adalah starre liste alias daftar baku atau daftar tetap. Dan memang, yang dimaksudkan dengan closed list dijagat raya ini adalah daftar tetap alias daftar baku. Maksudnya, urutan nama caleg sudah ditetapkan oleh partai peserta pemilu – yang biasanya dipilih secara demokratis dalam kongres partai. Daftar yang disusun ini tidak bisa diubah-ubah seenaknya. Bahkan, urutan nama itu juga transparan, bisa diketahui oleh para pemilih. Di Jerman umpamanya, nama-nama wakil rakyat berada di bawah nama (dan bukan gambar) partai. Sehingga, kalau disebut daftar tertutup gaya Jerman, orang memilih nama partai. Disalahkaprahkan menjadi memilih gambar, oleh sebab pemilihan gambar itu sebetulnya diperuntukkan buat masyarakat yang tidak dapat membaca dan menulis.

Di Senegal, diterapkan closed list alias daftar tertutup. Di sana, tingkat buta huruf jauh lebih tinggi ketimbang Indonesia. Dalam pemilu memilih anggota parlemen yang baru lalu, ada 25 partai atau organisasi politik peserta pemilu. Nah untuk memudahkan para pemilih, KPU Senegal membuat 25 kartu dengan 25 jenis warna. Setiap warna melambangkan warna partai. Di samping lambung partai, di setiap kartu tercantum juga foto kandidat. Nah, sebelum masuk ke kotak suara, setiap pemilih dibekali dengan 25 kartu suara berwarna-warni. Dalam kabin, ia kemudian memilih salah satu kartu, yang kemudian dimasukkan ke dalam kotak suara. 24 sisanya kemudian dibuang di tong sampah yang telah disediakan (Anke-Christiane Lerch, Parlamentswahlen und Regierungsneubildung in Senegal, hal. 65-84, KAS-AI, 7/01).

Daftar Tertutup, Peranan KPU dan Lembaga Judikatif

Terlepas pro kontra terhadap keinginan parpol besar di DPR untuk mempertahankan sistem proporsional daftar tertutup itu, sudah dapat diduga bahwa kehendak mayoritas di DPR itu pastilah bakal turun menjadi undang-undang. Kendati ada kesepakatan, bahwa pemilihan caleg akan berlangsung demokratis dalam tubuh masing-masing partai. Jika ia turun menjadi UU, lantas apa yang dapat diperbuat jika pemilihan caleg berlangsung tidak secara demokratis?

Di Paraguay, yang menganut sistem proporsional daftar tertutup, para calegnya harus dipilih secara demokratis. Pemilihan secara demokratis itu baru bisa dianggap sah, jika pemilihan itu disaksikan langsung oleh Mahkamah Tertinggi Pemilu (Tribunal Superior de Justicia Electoral/TSJE) (Michael Krennerich, Wahlen in Lateinamerika: eine demokratische Routine, Brennpunkt Lateinamerika, 28 September 1999). Peranan yang sama dimiliki oleh KPU Guatemala, TSE atau Tribunal Supremo Electoral (Katrin Erbsen de Maldonado/Georg Schmid, Die allgemeinen Wahlen in Guatemala am 12.11.1995 und 7.1.1996, KAS-AI 02/96).

Contoh yang menarik pernah terjadi di Jerman: Pemilu Negara Bagian Hamburg tahun 1991 yang berdasarkan sistem proporsional daftar tetap/baku alias closed list telah dinyatakan batal oleh fatwa Mahkamah Konsitusi Negara Bagian Hamburg 4 Mei 1993. Mahkamah Konstitusi Negara Bagian tidak menemukan kecurangan-kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu. Namun, permasalahannya justru terletak pada masalah intern dalam tubuh partainya Kanselir Helmut Kohl, Christlich Demokratische Union (CDU) Hamburg alias Partai Kristen Negara Bagian Hamburg. Kasus ini meletus oleh ulah kubu vokalis dalam tubuh partai. Kubu vokalis ini mengecam praktik-praktik Dewan Pimpinan Pengurus Partai dalam menetapkan calon-calon legislatif untuk DPRD provinsi. Soalnya, para caleg mesti memperoleh restu terlebih dahulu dari DPP, kemudian baru diperkenankan turun di gelanggang demokrasi. Akibatnya, salah anggota kubu vokalis yang mencalonkan diri menjadi caleg, tidak diperkenankan turun ke arena, oleh sebab DPP tidak merestui.  Seusai pemilu daerah 1991, sang korban lantas mengadukan kasus ini kepada Mahkamah Konstitusi Negara Bagian Hamburg. Gugatannya dimenangkan. Maka, turunlah fatwa yang membatalkan hasil pemilu 1991. Dan pemilu mesti diulang. Alasan Mahkamah Konstitusi Negara Bagian: karena pemilihan caleg dalam tubuh salah satu parpol peserta pemilu telah melanggar prinsip-prinsip demokrasi, maka pemilunya pun tidak demokratis.

Bagaimana di Indonesia?

Dalam kasus Uruguay dan Guatemala, lembaga-lembaga negara yang berkaitan dengan pemilu melakukan kegiatan proaktif. Nah, jika gaya Uruguay elok buat ditiru, maka paling tidak KPU atau lembaga pengawas pemilu bisa dilimpahi wewenang buat melakukan pemantauan dalam pemilihan para caleg pra pemilu. Partai yang melanggar prinsip demokrasi, dapat ditolakuntuk ikut pemilu. Atau setidak-tidaknya, sebelum pemilu berlangsung, partai yang bertindak tidak demokratis harus melakukan pemilihan ulang.

Dalam kasus Jerman, lembaga judikatif baru turun, jika korban perlakukan tak demokratis itu mengadukan kasusnya. Artinya, partisipan pemilu itu sendiri yang harus melakukan tindakan proaktif. Tindakan proaktif partisipan pemilu ini justru memperkuat peranan lembaga judikatif. Alhasil, seandainya pun sistem proporsional daftar tertutup sudah final diturunkan oleh rezim „partitocracia“ di DPR, ikhtiar buat melakukan pemilu yang demokratis lewat sistem proporsional daftar tertutup itu toch tetap tidak tertutup.
Penulis adalah Ketua KIPP Eropa dan LSM Watch Indonesia!, tinggal di Berlin, Jerman.


Tags: , , , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami