Mengkhawatirkan Pemilu 2004 yang Mengkhawatirkan

Kompas, 31 Januari 2004

Logo-KompasHarap-harap Cemas! Nama acara reality show di salah satu stasiun televisi itu kini hinggap di sebagian besar benak rakyat Indonesia. Bukan ingin membuktikan kesetiaan atau ketidaksetiaan pasangan masing-masing, seperti dieksploitasi televisi. Rakyat berharap-harap cemas terkait dengan pelaksanaan Pemilihan Umum 2004 yang serba baru, berlangsung lama hampir sepanjang tahun, namun dengan waktu persiapan yang sangat minimal.

Harap-harap cemas disertai perasaan khawatir yang diakhiri kekecewaan atau kepuasan telah menjadi drama harian di setiap kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kantor 24 partai politik (parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004, baik tingkat pusat maupun daerah. Satu bulan terakhir, untuk urusan penyusunan daftar calon anggota legislatif (caleg) dan kelengkapan administrasinya, drama harap-harap cemas caleg terekam di dua kantor itu.

Drama harap-harap cemas para caleg tahap awal berakhir hari Rabu (28/1) lalu. Berdasarkan penelitian KPU, dari 8.441 caleg yang diajukan 24 partai peserta Pemilu 2004, sebanyak 7.756 caleg dinyatakan memenuhi syarat untuk berkompetisi memperebutkan 550 kursi DPR di 69 daerah pemilihan. Kepuasan terpancar dari wajah ribuan caleg yang diperbolehkan KPU maju bersaing.

Sementara itu, harap-harap cemas 685 caleg berakhir dengan kekecewaan. Oleh KPU yang kerap menampilkan diri sebagai „pihak yang selalu benar“, 685 caleg dinyatakan tidak memenuhi syarat. Ambisi dan bayangan mereka menjadi politisi yang penuh gengsi dan harta duniawi musnah. Setelah ambisi musnah, kekecewaan makin menjadi karena perasaan malu. Sebagian caleg tidak lolos karena perbuatan tercela, seperti memalsukan ijazah.

Kondisi psikologis semacam itu dipetakan sejumlah pihak sebagai salah satu titik rawan dalam Pemilu 2004. Tidak hanya saat pengumuman caleg oleh KPU, titik rawan juga dipetakan pada tahapan sebelumnya, yaitu ketika pengumuman hasil verifikasi administratif dan faktual parpol diumumkan KPU dan sebelumnya Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Ermaya Suriadinata memetakan titik rawan sepanjang Pemilu 2004 menjadi 28 titik. Titik rawan tersebut mulai muncul sejak KPU bekerja menyiapkan sarana dan prasarana pemilu, penghitungan suara, dan saat presiden serta wakil presiden terpilih ditetapkan.

„Kotak suara memiliki kerawanan, baik saat distribusi oleh KPU ke daerah-daerah, gangguan hacker pada sistem informasi teknologi penghitungan suara, maupun proses penghitungan suara itu sendiri,“ ujar Ermaya.

Lemhannas juga memetakan titik rawan pada saat pengumuman hasil verifikasi parpol oleh Depkeh dan HAM serta KPU. Namun, sejauh ini, kerawanan tersebut tidak mengganggu keseluruhan proses Pemilu 2004. Memang muncul sejumlah protes dan gugatan dari parpol yang kecewa. Akan tetapi, ketegasan dengan dasar aturan perundang-undangan membuat KPU percaya diri untuk melaju.

Sebagai penyelenggara dan penanggung jawab Pemilu 2004, KPU juga telah memetakan titik-titik rawan pemilu jauh-jauh hari sehingga terlihat percaya diri. Anggota KPU Mulyana W Kusumah mengatakan, ada 14 kerawanan sepanjang proses demokrasi lima tahunan itu. Jika dikelompokkan, ada tiga kerawanan sepanjang waktu tersebut, yaitu reaksi dan protes massa, bentrok antarmassa pendukung, dan aktivitas massa menyikapi hasil pemilu.

Berdasarkan pemetaannya, akan ada reaksi, protes, dan bentrok antarmassa pendukung yang sifatnya lokal dan nasional sesuai dengan sistem Pemilu 2004. Adanya institusi baru bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD), misalnya, akan memunculkan reaksi, protes, dan bentrok antarmassa pendukung yang sifatnya lokal dan dapat serentak terjadi di seluruh wilayah Indonesia.

Koordinator Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Ray Rangkuti memprediksi, kegemaran elite politik mengerahkan massa pendukungnya berpotensi menimbulkan kekacauan. „Konflik internal parpol kemungkinan akan berimbas ke luar partai politik dengan pemicu kepentingan kelompok kepentingan di dalam partai politik,“ ujarnya.

Selain itu, menurut dia, lamanya proses Pemilu 2004, minimnya sosialisasi pelaksanaan pemilu, dan rendahnya pemahaman berpolitik masyarakat diduga akan menimbulkan konflik atau bentrokan dalam Pemilu 2004.

Mendapati kerawanan yang memunculkan kekhawatiran mengenai Pemilu 2004 ini, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto di hadapan Komisi I DPR mengungkapkan kemungkinan sabotase menggagalkan pemilu. Sabotase itu salah satunya berupa praktik politik uang yang diarahkan kepada petugas penghitung suara dengan harapan bisa memaksa agar pemilu diulang.

Pernyataan Endriartono dengan dasar data intelijen itu memunculkan kegemparan dan reaksi beragam. Tidak lama kemudian, dalam amanatnya pada peringatan Hari Juang Kartika 2003, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu memunculkan kegemparan baru. Ia melihat kemungkinan pemilu berdarah- darah karena bentrokan antarmassa pendukung parpol. „Jika itu sampai terjadi, TNI AD tidak akan tinggal diam,“ katanya.

Setelah pernyataan Ryamizard, Presiden Megawati Soekarnoputri yang „pendiam“ tergugah angkat bicara menantang mereka yang berkonspirasi ingin menggagalkan pemilu. Seusai tantangan yang disampaikan secara lantang dan terbuka itu, pernyataan kekhawatiran pelaksanaan Pemilu 2004 reda.

BENARKAH tidak lagi ada kekhawatiran mengenai pelaksanaan Pemilu 2004? Meskipun tidak ada pernyataan-pernyataan yang membuat yang berkepentingan dengan pemilu merah kupingnya, kekhawatiran semakin bertambah bersamaan dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan pemilu legislatif pada 5 April 2004.

Ketidakpastian mengenai pengadaan seluruh kebutuhan logistik Pemilu 2004, seperti kotak suara, membuat sejumlah kalangan mendesak DPR untuk menyiapkan contingency plan (rencana cadangan) jika pemilu terpaksa ditunda. Permintaan itu disampaikan Government Watch (Gowa) dan diterima Komisi II DPR.

Jika terus dirunut, kerawanan yang memunculkan kekhawatiran akan terus berlanjut saat penghitungan suara dan sesudahnya. Proses penetapan perolehan jumlah kursi dan penetapan calon terpilih merupakan bagian yang harus diantisipasi sejak dini. Konsekuensi tersebut semestinya diperhitungkan sejak awal, sebelum proses pemungutan dan penghitungan suara dilakukan.

Dewan Pengurus Watch Indonesia Pipit R Kartawidjaja mengatakan, tanpa sosialisasi mengenai „matematika pemilu“, sulit diharapkan proses penetapan perolehan kursi dan penetapan calon terpilih terbebas dari konflik. Bisa jadi pertentangan tidak hanya sekadar internal parpol, tetapi melebar antara parpol dan KPU sebagai penyelenggara pemilu.

„Yang menyedihkan, sejumlah KPU daerah bahkan belum paham cara menghitung perolehan kursi dan penetapan calon terpilih. Bagaimana mereka nanti menghadapi kader partai yang marah karena tidak terpilih?“ ujar Pipit.

Pipit mencontohkan, konsep daerah pemilihan yang dipergunakan pada Pemilu 2004 jelas berbeda dengan pemilu sebelumnya. Seluruh kursi dibagi habis di sebuah daerah pemilihan berdasarkan hasil pemungutan suara dan tidak diperbolehkan terjadi kesepakatan penggabungan suara (stembus accoord).

Akibatnya, jumlah sisa suara pada daerah pemilihan yang berbeda bisa menarik „garis nasib“ yang berbeda. Sisa suara parpol di sebuah daerah pemilihan bisa jadi terkonversi menjadi sebuah kursi. Sementara itu, sisa suara parpol yang daerah pemilihannya berbeda tidak bisa ditukar menjadi satu kursi saja.

Akibatnya, akhirnya tidak paralel antara perolehan suara dan perolehan kursi legislatif sebuah parpol peserta pemilu. Ada sisa suara yang bisa dikonversi menjadi sebuah kursi, sementara ada sisa suara yang benar-benar terbuang.

Soal penetapan calon terpilih pun bisa memantik masalah. Distribusi kursi berdasarkan nomor urut menjadi sangat kontroversial karena berpotensi memancing konflik internal parpol pascapemilu.

Calon yang berada di urutan bawah dan perolehan suaranya hanya tipis di bawah bilangan pembagi pemilih (BPP) bisa saja tidak terpilih, sementara kursi yang diraih parpolnya menjadi hak calon yang berada di urutan atas. „Tanpa sosialisasi yang benar, bisa-bisa kantor KPU di daerah-daerah itu dimercon orang sehabis pemilu,“ kata Pipit. <>

PIHAK Kepolisian Negara RI (Polri) sebagai penanggung jawab keamanan telah jauh-jauh hari mengantisipasi semua kekhawatiran yang menimbulkan kerawanan selama Pemilu 2004. Seusai rapat koordinasi bidang politik dan keamanan, Rabu lalu, Kepala Polri Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar mengaku telah membuat persiapan pengamanan secara menyeluruh. „Ada sejumlah kerawanan dan sudah kami antisipasi. Protes dan ketidakpuasan kita lihat sebagai hal yang wajar. Insya Allah kesadaran kita tinggi untuk menghindari gangguan,“ ujar Da’i.

Untuk keperluan pengamanan Pemilu 2004, Polri mengerahkan 2/3 kekuatannya yang berjumlah kira-kira 200.000 personel dan didukung 1,1 juta personel pertahanan sipil (hansip) dan perlindungan masyarakat (linmas) di seluruh wilayah Indonesia. Untuk empat provinsi rawan konflik-seperti dipetakan Panitia Pengawas Pemilu (Panwas)-yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, Sulawesi Tengah, dan Maluku, konsentrasi pasukan dilipatgandakan.

Kerja sama Polri dan TNI telah dilakukan demi suksesnya Pemilu 2004, yang dalam bahasa Endriartono dilihat sebagai sebuah keniscayaan. Bentuk dukungan TNI kepada Polri dan politisi sipil dituangkan dalam kebijakan netralitasnya. TNI juga siap dengan skenario terburuk yang mungkin muncul.

Jaminan keamanan, komitmen KPU, Panwas, dan peserta Pemilu 2004 sedikit menepis kekhawatiran yang hingga kini belum sepenuhnya hilang. Kita semua berharap pesta demokrasi lima tahunan dapat berjalan sesuai dengan rencana.

Mengenai kualitas hasil Pemilu 2004? Dengan sistem baru tanpa kesiapan pemilih, ditambah muka lama politisi yang nyata-nyata telah gagal serta akal-akalan yang diterapkan parpol, kualitas hasil Pemilu 2004 dipastikan tidak akan memuaskan.

Sejumlah kalangan jauh-jauh hari sudah tidak lagi khawatir dengan kualitas hasil Pemilu 2004 karena sudah diyakini tidak akan membawa hasil yang memuaskan. Dengan segala kekurangannya, sejumlah kalangan sudah mulai menyiapkan penghibur untuk menutupi kekecewaan yang telah terbayang nyata. Semoga proses belajar kita dalam berdemokrasi melalui Pemilu 2004 membuahkan hasil yang lebih baik dalam pemilu-pemilu mendatang. (wisnu nugroho/sidik pramono)


Tags: , , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami