Perluas Kewenangan MK

Suara Pembaruan, 17 April 2007

LogospJAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) sebaiknya diberi kewenangan yang lebih luas, agar lembaga ini bisa juga menguji peraturan di bawah undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Hal itu perlu dimiliki MK karena banyak peraturan di bawah UU sekarang ini yang justru bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, MK juga bisa menguji putusan hakim yang bertentangan dengan HAM.

Demikian pendapat pakar ilmu hukum tata negara yang saat ini menjadi anggota Komisi III DPR Dr Benny K Harman SH dalam acara peluncuran buku The New Indonesian Constitutional Court karangan pakar ilmu politik asal Jerman, Petra Stockmann PhD di Jakarta, Senin (16/4).

Pembicara lain dalam acara itu adalah advokat senior, Dr Todung Mulya Lubis SH, aktivis Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Bivitri Susanti, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M Zen, pakar ilmu politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jerman, Jutta Limbach.

Dikatakan, Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 perubahan ketiga, berbunyi,“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.“ Bunyi pasal itu juga dijabarkan dalam Pasal 10 Ayat (1) UU 24/2003 tentang MK.

Menurut Benny, terlalu banyak aturan di bawah UU sekarang ini, dan mungkin ke depan yang melanggar UUD 1945. Benny menyebut contoh sejumlah peraturan daerah (Perda) melanggar hak asasi manusia (HAM), terutama hak-hak perempuan. „Perda Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang yang isinya melarang perempuan ke luar rumah pada malam hari. Ini kan melanggar HAM. Ingat dalam UUD 1945 perlindungan HAM dijamin,“ ujarnya.

Untuk memperluas kewenangan MK, katanya, UUD 1945 dan UU MK perlu direvisi. „Hal ini perlu kita lakukan demi tegaknya demokrasi di Indonesia. Negara demokrasi adalah negara yang menghargai HAM,“ katanya.

Sedangkan Todung mengatakan MK sebaiknya berfungsi tidak sekadar menjadi pengawal konstitusi, tetapi juga sebagai lembaga yang melindungi hak asasi individu dan hak kelompok masyarakat. Menurut Todung, ada banyak hak kelompok masyarakat dirampas atau dianiaya. Salah satu contoh adalah kelompok Ahmadiyah. „MK juga harus melindungi kelompok masyarakat, seperti Ahmadiyah itu,“ kata dia.

Sementara itu Petra Stockmann mengatakan MK harus memiliki reputasi tinggi, peduli terhadap kejujuran, keadilan, keterbukaan dan kemandirian. Hal-hal seperti itu, kata dia, merupakan modal dalam memperjuangkan HAM dan demokrasi yang lebih baik, sehingga masyarakat madani bisa terwujud.

Jabatan Anggota MK

Pada kesempatan itu Todung mengusulkan untuk menjadi hakim MK sebaiknya tidak melalui pengangkatan, tetapi melalui jalur tes, termasuk uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR. Sebab, hakim-hakim MK yang ada sekarang menggunakan sistem pengangkatan. „Ini kan sangat politis. Tidak fair,“ kata dia.

Pengangkatan hakim MK itu dilakukan berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) UU MK yang berbunyi,“Hakim konstitusi diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung (MA), tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan keputusan Presiden.“

Todung juga mengusulkan usia jabatan hakim MK adalah seumur hidup. „Hal ini perlu dilakukan agar hakim-hakim MK itu tidak perlu tergoda dengan jabatan lain, seperti jabatan menteri atau bahkan maju untuk dicalonkan menjadi Presiden,“ kata dia.

Hal senada juga disampaikan Patra. Menurutnya, jabatan hakim konstitusi merupakan jabatan yang paling tinggi dan bergengsi. „Oleh karena itu, setiap hakim MK sebaiknya merasa direndahkan kalau ditawarkan jabatan lain,“ kata dia.

Oleh karena itu, Todung dan Patra mengusulkan sebaiknya orang-orang yang dipilih untuk menduduki jabatan hakim konstitusi sebaiknya negarawan. „Seorang negarawan ialah orang yang bebas kepentingan, seperti kepentingan partai, agama dan daerah. Hakim MK layaknya seperti dewa,“ kata Patra. [E-8]


Tags: , , , , , , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami