Tata Ulang Alokasi Kursi dan Dapil

Kompas, 10 Oktober 2016

RUU PEMILU

Logo-Kompas-500x337JAKARTA, KOMPAS – Alokasi kursi dan penataan daerah pemilihan di Indonesia janggal dan tak proporsional. Revisi Undang-Undang tentang Pemilu semestinya menjadi momentum untuk menata daerah pemilihan dan jumlah kursi. Namun, tujuan penataan sekaligus ukurannya semestinya ditentukan terlebih dahulu.

Beberapa masalah dalam penentuan dapil yang ada dalam Pemilu Indonesia, antara lain pembagian kursi perwakilan tidak dilakukan secara adil berdasarkan jumlah populasi dan adanya pembentukan dapil yang secara sistematis dan berpola menguntungkan pihak atau partai tertentu.

Menurut Peneliti Senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Pipit Rochijat Kartawidjaja dalam diskusi „Problematika Penataan Kursi dan Pembentukan Daerah Pemilihan Pemilu Indonesia“ di Jakarta, Minggu (9/10), beberapa provinsi tidak mendapatkan jumlah perwakilan yang memadai di parlemen. Hal ini terjadi. misalnya, di provinsi yang „melahirkan“ provinsi baru, seperti Papua, Maluku, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Sebab, pengaturan yang ada mengharuskan jumlah kursi di parlemen tetap sehingga umumnya KPU mengurangi alokasi kursi di daerah induk dan mennempatkan di daerah pemekarannya.

Alokasi semacam ini membuat jumlah suara yang harus diperoleh untuk mendapat satu kursi di suatu dapil bisa sangat berbeda dengan harga kursi di provinsi lain. „Riau dan Kepulauan Riau mendapat kursi dengan ‘harga termahal’ 632.000-an (per kursi), sedangkan di dapil lain hanya 320.000-an,“ tutur Pipit.

Dia mencontohkan di Provinsi Banten, alokasi kursi di tiga dapil mengakibatkan jumlah suara untuk setiap kursi berbeda-beda antara satu dapil dengan dapil lainnya. Alokasi enam kursi di dapil Banten I misalnya. membuat setiap kursi DPR memerlukan 370.000 suara di dapil Banten II dengan enam kursi memerlukan 392.000 suara per kursi dan semua kursi di Banten memerlukan suara 534.000 suara per kursinya. Semestinya, menurut Pipit, realokasi kursi di tiga dapil itu menjadi masing-masing lima kursi di Banten I dan ll, sedangkan di Banten III 12 kursi.

Di sisi lain, sekitar 40 dapil di Indonesia tidak terbentuk dalam satu kesatuan utuh wilayah. Pipit mencontohkan, dapil Jabar III DPR terdiri atas gabungan Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur, sedangkan dapil IV DPRD Kabupaten Yahukimo melintasi tiga kecamatan berbeda yang tak bersebelahan. Akibatnya, prinsip integralitas suatu wilayah dan kekompakan dapil tak terwujud.

Keberimbangan

Pegiat matematika pemilu Didi Achdijat menambahkan, penataan dapil perlu mengakomodasi keberimbangan perwakilan Jawa dan luar Jawa. Dengan demikian, keputusan politik diambil secara rasional dan berimbang antara Jawa dan luar Jawa.

Penataan dapil dan alokasi kursi ini, tambah Pipit, memerlukan tujuan yang jelas dan ukuran yang jelas. Tanpa tujuan, penataan dapil hanya berdasarkan kepentingan parpol.

Dalam diskusi yang sama, Wakil Ketua Komisi II DPR Riza Patria mengakui belum ada pembahasan khusus tentang penataan dapil ataupnn berbagai isu terkait RUU Pemilu, kecuali dalam diskusi internal. Penataan kursi dan dapil memang menjadi salah satu isu.

„Bagi parpol, hal terpenting adalah ada keterwakilan yang pasti, jangan sampai punya konstituen besar di satu dapil, tetapi tidak terwakili. Selain itu juga perlu kesinambungan dan pembentukan dapil berdasarkan jumlah penduduk, luas, dan akses transportasi,“ ujarnya.  (INA)


Tags: , , , , ,


Share

Silakan berkomentar

You must be logged in to post a comment.

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami