PBB Pertanyakan HAM Dan Perampasan Tanah Di Papua Pada Delegasi Indonesia

Jubi, 02 Mei 2014

Victor Mambor

tabloidjubiJenewa, 2/5 (Jubi) – Pada tanggal 30 April dan 1 Mei 2014, Komite Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosob) PBB di Jenewa menilai tingkat pelaksanaan hak-hak Ekosob ini di Indonesia. Proses ini meninjau akses kesehatan dan pendidikan, masalah perampasan tanah dan hak-hak minoritas serta masyarakat adat. Dalam proses peninjauan ini Komite menunjukkan perhatian khusus kepada situasi di Papua .

Rilis pers bersama oleh Franciscans International, International Coalition for Papua, VIVAT International, Watch Indonesia! dan West Papua Netzwerk dikirimkan kepada Jubi usai proses peninjauan oleh Komite Ekosob PBB (1/5).

Melalui rilis pers yang diterima Jubi, Jumat (2/5) pagi ini, disebutkan bahwa setelah Kovenan Internasional tentang Hak Ekosob mulai berlaku pada tahun 1966, Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut pada tahun 2005. Sebagai pihak yang meratifikasi Kovenan ini, Indonesia  harus menyajikan laporan pelaksanaannya setiap lima tahun. Tahun ini, barulah Komite bisa melakukan review pertama untuk Indonesia setelah Jakarta menyerahkan laporan awal yang tertunda bertahun-tahun lamanya.

Dalam proses peninjauan ini, Komite menanyakan pada Indonesia tentang kesenjangan kemiskinan yang cukup besar antara dua provinsi di Tanah Papua dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Kepala Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat (UP4B), Bambang Darmono, sebagai anggota delegasi Indonesia, menjelaskan peningkatan jumlah kabupaten sebagai indikator keberhasilan. Bambang juga mengatakan adanya pengurangan persentase penduduk miskin di provinsi Papua selama beberapa tahun terakhir.

Namun Kepala UP4B ini tidak menjelaskan masuknya migran ke Papua telah memberikan kontribusi sangat besar terhadap perubahan dalam jumlah, sementara penduduk asli Papua terus berada di tingkat kemiskinan yang tinggi dan minim akses ke pendidikan serta kesehatan.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Papua pada tahun 2001 jumlah kabupaten telah meningkat dari 9 kabupaten menjadi 42 kabupaten. Hal ini membuat pelaksanaan administrasi publik yang sangat korup. Amirrudin, delegasi Indonesia lainnya menyatakan bahwa sebagian besar kabupaten ini dipimpin oleh orang Papua yang dipilih secara demokratis, namun tetap terjadi korupsi besar-besaran dalam alokasi anggaran pembangunan di Papua.

Sehubungan dengan dugaan perampasan tanah di Papua untuk proyek-proyek pembangunan, delegasi Indonesia berpendapat bahwa orang asli Papua telah berkonsultasi dan diberi ketentuan khusus untuk pembagian keuntungan. Ini termasuk proyek-proyek pengembangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), PT Sinar Mas di Jayapura, PTP II Keerom dan PT SDIC di Manokwari.

Komite mempertanyakan bagaimana pemerintah Indonesia melakukan studi dampak hak asasi manusia sebelum memberikan izin untuk industri ekstraktif. Termasuk mempertanyakan bagaimana pemerintah menjamin penerapan proses Free Prior and Informed Consent (FPIC) saat perusahaan mendapatkan lahan dari masyarakat adat. Delegasi Indonesia menjelaskan bahwa prinsip-prinsip FPIC telah dimasukkan dalam undang-undang yang ada, termasuk Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Namun, delegasi itu tidak mampu memberikan penjelasan lebih lanjut tentang metodologi dan pelaksanaan prinsip-prinsip FPIC.

Komite kemudian memperhitungkan keputusan Mahkamah Konstitusi dan efek yang mungkin terjadi pada masyarakat yang terkena dampak dan mekanisme FPIC di masa depan. Mr Zudan Arif dari Kementerian Dalam Negeri mengatakan bahwa keputusan di Mahkamah Konstitusi mengikat secara hukum tetapi tidak menjelaskan mengapa hal itu tidak dilaksanakan di lapangan.

Mengenai pengakuan Masyarakat Hukum Adat, delegasi pemerintah Indonesia menolak konsep adat yang berlaku di Indonesia. Delegasi tersebut menjelaskan bahwa karena komposisi demografis dan sejarah yang statis dari kelompok etnis, mereka “mempertimbangkan semua orang Indonesia sebagai pribumi”. Delegasi menyatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat tidak mengacu pada minoritas atau kelompok marjinal. Namun sistem hukum khusus yang digunakan oleh masyarakat dihormati oleh pemerintah Indonesia .

Komite juga mempertanyakan ketidakhadiran guru di berbagai daerah yang mencapai angka 50 persen. Bambang Darmono menjelaskan bahwa 95 kabupaten di 21 kabupaten telah diklasifikasikan sebagai daerah terisolir. Dia lalu menjelaskan bahwa pemerintah lokal telah diminta untuk memberikan perhatian lebih pada masalah ini. Bambang mengakui 400 guru telah dikirim ke Papua pada tahun 2012 dan 900 lain pada tahun 2013. Pada saat yang sama lulusan SMA akan mengatasi kekurangan guru di perkampungan. Namun lagi-lagi, Kepala UP4B ini tidak bisa menyajikan strategi untuk memastikan bahwa guru yang bekerja benar-benar muncul untuk bekerja. Dia mengakui bahwa di daerah seperti Puncak, guru memang tidak siap untuk bekerja karena kondisi yang terjadi saat ini. Ia mengatakan UP4B berencana untuk menyediakan akses ke 17.000 anak di 95 kabupaten terisolasi pada tahun 2014. Kerjasama dengan lembaga-lembaga keagamaan adalah strategi lain untuk memberikan pendidikan, termasuk melalui pesantren.

Komite akan mengeluarkan hasil tinjauan akhir dan rekomendasi sekitar tanggal 23 Mei di website OHCHR. Pemerintah Indonesia diharapkan dapat melaksanakan rekomendasi Komite internasional untuk melindungi hak asasi warga negaranya.

Delegasi Indonesia yang menghadiri proses peninjauan hak Ekosob ini adalah perwakilan dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Unit Percepatan Pembangunan untuk Provinsi Papua dan Papua Barat, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Perutusan Tetap Indonesia ke Kantor PBB di Jenewa. (Jubi/Victor Mambor)


Tags: , , , , , , , , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami