Lola Amaria tentang karya, kesederhanaan tema, dan organisasi perfilman

tabloidkabarfilm.com, 16 Desember 2014

http://www.tabloidkabarfilm.com/profilm/dia/590/590.html

 

Written by TIS

LOLA Amaria (37) baru saja menghadiri konferensi internasional di Berlin, Jerman. Ini bukan pertama kalinya bagi produser, artis, dan sutradara film tersebut menjadi narasumber kegiatan forum di luar negeri. Kehadiran Lola Amaria itu mewakili film-film yang dibuatnya.

tabloidfilm-logo.Pada peringatan Hari Hak Azasi Manusia Sedunia di Berlin, Jerman 10-14 Desember 2014, Lola Amaria hadir sebagai undangan „Watch Indonesia!”. Dia berbicara soal isu lesbian, gay, bisexual, dan transexual (LGBT) dan salah satu filmnya, Sanubari Jakarta diputar di sana.

Dalam kesempatan itu, Lola menitip pesan pada pemerintahan presiden Jokowi – JK agar lebih memiliki ketegasan dan sikap intoleransi terhadap bentuk kekerasan yang membahayakan kebebasan film maker seperti dirinya.

Produser sekaligus sutradara film Sanubari Jakarta ini mengungkapkan kasus penyerbuan pertemuan LGBT di Yogyakarta beberapa waktu lalu, yang berdampak pada aspek masyarakat lain termasuk kesenian. Sutradara dan pemain film akan menganggap isu ini terlalu sensitif.

„Bisa-bisa filmmaker akan takut membuat film tentang LGBT karena ancaman yang sama. Mereka dengan kekerasan bisa memaksa film itu diturunkan dari bioskop. Ini ancaman terhadap kebebasan berkesenian,“ kata Lola.

Untuk mengetahui pandangan Lola Amaria mengenai film-filmnya dan perfilman Indonesia, berikut ini wawancara Teguh Imam Suryadi dari tabloidkabarfilm.com dengan sineas yang pembuat film seperti Kisah 3 Titik, Sanubari Jakarta, Negeri Tanpa Telinga, dan lainnya tersebut:

Keberangkatan Anda ke acara konferensi internasional di Berlin mewakili organisasi atau pemerintah?

Kebetulan undangannya sebagai pribadi, maka saya pun hadir sebagai pribadi. Mungkin lain kali akan diundang atas nama organisasi atau pemerintah, siapa tahu. Siapa juga yang tidak ingin disokong organisasi maupun pemerintah. Sayangnya sekarang masih belum.

Sekarang saya hadir di konferensi internasional LGBT yang diadakan oleh Watch Indonesia! di Berlin. Mungkin alasan mereka kenapa saya yang harus hadir karena film Sanubari Jakarta. Temanya khan, tentang LGBT dengan cara pandang yang berbeda dari film-film LGBT sebelumnya.

Walau tidak laku di pasar film domestik, film ini ternyata mendapat apresiasi luas di luar. Mungkin mereka menganggap Sanubari Jakarta punya bobot dan layak untuk Europe screening. Memang setahu saya, ajang internasional seperti di Berlin ini lebih banyak menekankan pada konten dan kualitasnya.

Begitupun beberapa bulan lalu dalam acara Asian Forum di Hongkong. Mereka mengapresiasi film saya yang lain yaitu Kisah 3 Titik, yang bercerita tentang kehidupan marjinal kaum buruh.

Tema di luar mainstream film Indonesia apakah akan jadi konsep Anda dalam membuat film?

Saya teringat Bertold Brecht yang berkata bahwa didalam kegelapan sekalipun kita masih bisa bernyanyi tentang kegelapan. Bukan maksud saya berpretensi besar akan mengubah sesuatu. Sama sekali tidak. Saya hanya nyaman dengan tema sosial yang selama ini memberi banyak inspirasi dalam hidup saya.

Lagipula saya membuat film yang dekat dengan kehidupan saya, hal-hal yang sederhana yang ada di sekitar. Menurut saya, sesuatu yang besar itu adalah kembali ke hal-hal yang sederhana. Membuat film tidak selamanya harus berusaha mendatangkan penonton sebanyak mungkin. Membuat film juga harus nyaman dan saya sangat nyaman dengan tema-tema yang saya buat.

Apa tanggapan Anda soal tumbuhnya organisasi perfilman di Indonesia setahun terakhir?

Saya senang dengan banyaknya organisasi perfilman. Tanda kemajuan jaman khan adanya organisasi, jadi dunia film sekarang semakin maju. Sama seperti jaman kemerdekaan, sebelum merdeka khan banyak bermunculan organisasi.

Orang-orang film membutuhkan perlindungan sosial selama menjalankan profesinya. Kalau bekerja aman. Nah saya kira ke depan organisasi-organisasi tersebut akan banyak memberikan perhatian pada hal ini.

Untuk produksi saya memang masih belum semuanya bisa diatasi oleh organisasi. Tapi khan sudah ada undang-undang yang diperbarui dan itu hasil perjuangan orang-orang film selama ini. Masih perlu waktu lebih banyak untuk menyempurnakan semuanya, terutama membantu mempermudah proses produksi.

Anda akan terus bermain-main di wilayah rumit, yang tidak diambil produser lain?

Bukan wilayah yang rumit, apalagi sulit menurut saya. Film adalah minat dan kebetulan minat dan energi saya meluap-luap kalau berhadapan dengan tema-tema seperti itu. Banyak orang menganggap temanya berat sehingga lebih memilih film yang menghibur. Menurut saya, tema seperti ini justru bagian dari diri kita menertawakan hidup kita sehari-hari.

Jika tidak ada produser yang mengambil, saya tidak menjadi masalah. Saya akan berusaha sendiri, malah kalau bisa melahirkan atau mengangkat pembuat film baru yang berbakat, seperti yang saya lakukan di film Sanubari Jakarta.

Apakah saya akan tertarik dengan tema lain? Pengalaman kreatif selalu berkembang, termasuk saya. Mungkin lain waktu saya akan terjun menekuni tema-tema lain setelah minat saya berubah haluan.

Sekarang rencana bikin film lagi? Tentang apa?

Saya sedang menyiapkan film baru, sekarang sedang dalam tahap editing skenario. Mudah-mudahan awal tahun sudah bisa selesai. Temanya masih sama, manusia-manusia rentan yang dihimpit oleh persoalan-persoalan sosial dan struktural yang lebih besar. Saatnya nanti saya akan sampaikan lebih detil.


Tags: , , , , , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami