Atas Nama Proporsionalitas

Republika, 12 Juli 2011

DEMI KEADILAN

Pada metode yang fair, jumlah suara mencerminkan jumlah kursi.

Oleh Harun Husein

RepublikaDalam buku Electoral System Design: The New International IDEA Hand book, yang terbit tahun 2005 lalu, ada 18 negara yang menjadi contoh kasus, salah satunya adalah Indonesia. Pada bab tersebut, dipaparkan secara ringkas tentang sistem dan berbagai pernak-pernik pemilu masingmasing negara.

Kasus Indonesia ditulis oleh An drew Ellis, dengan tajuk „Indonesia: Continuity, Deals and Consensus. Direktur Regional untuk Program Asia dan Pasifik IDEA (International Institute for Democracy and Electoral Assistance), itu, memaparkan sejak Pemilu 1955 hingga 2004, Indo ne sia menganut sistem proporsional, dengan metode penghitungan Largest Remainder (Hare quota).

Cara kerja metode ini di Indonesia — sebagaimana juga di negara-negara lain yang menerapkan metode serupa — adalah dua tahap. Pertama, menentukan kuota atau di Indonesia disebut bilangan pembagi pemilih (BPP). Kedua, sisa kursi dibagi kepada pemilik sisa suara terbesar dan seterusnya, sampai habis.

Meski secara umum Indonesia menganut sistem proporsional dengan metode penghitungan kuota Hare, namun detailnya berbeda-beda. Sistem proporsional tertutup sejak Pemilu 1955-1999, telah berganti dengan proporsional terbuka pada Pemilu 2004 – 2009. Begitu pun dengan metode penghitungannya.

Largest Remainder (Hare quota) yang diterapkan pada Pemilu 1999 dan 2004, misalnya, berbeda dengan 2009. Pemilu 2009 menerapkan metode yang telah dimodifikasi sedemikian rupa oleh pembuat undang-undang, sehingga menjadi kompleks.

Pada Pemilu 1999 maupun 2004, penghitungannya dua tahap. Tahap pertama, adalah memberi kursi kepada peraih BPP penuh. Tahap kedua, sisa kursi dibagikan kepada pemilik sisa suara terbesar di dapil. Yang berbeda, dapil pada Pemilu 1999 adalah daerah administratif –– sehingga untuk DPR adalah provinsi, yang saat itu berjumlah 27 —, sedangkan dapil pada Pemilu 2004 telah dipecah-pecah menjadi provinsi atau bagian-bagian provinsi, sehingga jumlahnya menjadi 69.

Adapun pada Pemilu 2009, dapil nya seperti Pemilu 2004 — tapi jumlahnya telah mencapai 77 — tapi sisa kursi tak dihabiskan di dapil, melainkan ditarik ke provinsi. Di provinsi itu, suara dari seluruh dapil di provinsi itu digabungkan.

Merugikan partai besar

Tapi, mengapa metode 1999 dan 2004 diganti? Pangkal soalnya, dua tahap penghitungan itu merugikan partai-partai besar. Wakil Sekjen Golkar, Nurul Arifin, memisalkan, sebuah partai besar yang mendapatkan 230 ribu suara dan partai kecil yang mendapatkan 31 ribu suara, bisa bernasib sama: sama-sama mendapatkan satu kursi.

Sebabnya, suara partai besar sudah habis terserap pada penghitungan tahap pertama. Misalnya BPP-nya dipatok 200 ribu, maka suara partai besar itu sudah terserap sebanyak 200 ribu pada penghitungan tahap pertama, sehingga sisa suara sebanyak 30 ribu. Untuk tahap kedua, saat kursi dibagi dengan sistem ranking sisa suara terbanyak, kursi justru jatuh kepada partai kecil yang hanya punya 31 ribu suara.

Tentu saja itu mengesalkan partai-partai besar. Sebab, perbandingan raihan suaranya adalah 7:1, tapi hasil akhirnya sama. „Kasus seperti ini banyak dialami Partai Golkar,” klaim mantan artis ini kepada Republika, pekan lalu.

Dalam keluarga Metode Kuota, Hare quota merupakan yang paling simpel, disbanding Droop quota atau Imperial quota. Setelah digabungkan dengan metode sisa suara terbanyak (largest remainder), menjadi Largest Remainder (Hare quota), metode ini pun diakui secara global sebagai metode penghitungan yang paling tinggi derajat proporsionalitasnya. Tapi, tentu, bukan tanpa cacat bawaan: partai menengah-kecil selalu mencuri kursi partai besar, yang justru menciptakan disproporsionalitas.

Pipit R Kartawidjaya dari Watch Indonesia di Berlin dan August Mellaz dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, pernah melakukan penghitungan terhadap hasil Pemilu 2004. Hasilnya, bila dirataratakan, „Antara partai politik yang perolehan suaranya 0,9 dengan partai lain yang hanya 0,3 sama-sama mendapatkan satu kursi,” demikian Pipit dan Mellaz, dalam tulisannya Memproyeksi Pemilu 2009; Daerah Pemilihan, Proporsionalitas, dan Fragmentasi Sistem Kepartaian. Karena itulah, menjelang Pemilu 2009, mulai mencuat wacana mengganti metode penghitungan. Para pengamat dan akademisi, mulai muncul dengan Metode Divisor, untuk mengganti Metode Kuota. Metode ini pun sudah mulai muncul dalam perdebatan di Panitia Khusus RUU Pemilu, antara lain diusung oleh legislator PDIP, Sutradara Gintings.

„Pak Sutradara Gintings sudah membuat simulasi. Tapi, di tengah jalan, dia diganti Pak Laoly (Yasonna H Laoly –Red). Sutradara Gintings doktor politik, Laoly doktor filsafat hukum makanya dia tidak cukup detail,” cerita Wakil Ketua Bidang Kebi jakan Publik DPP PKS, Agoes Poernomo, kepada Republika, pekan lalu. Gagasan itu pun kandas.

Maka, yang terjadi kemudian, adalah utak-atik metode Largest Remainder (Hare quota), dengan semangat menambah kursi. „Partai-partai lebih menggunakan calculated political approach. Hanya mengandalkan data simulasi yang menguntungkan partainya, tidak lagi pakai academic approach,” kata Agoes.

Agar sisa suara tak langsung jatuh kepada partai kecil, maka setelah penghitungan tahap pertama tak langsung ranking sisa suara, tapi dibuat tahap baru. Tahap kedua, dicantumkan peraih kursi adalah partai peraih 50 persen BPP. Dan, jika kursi tetap tak habis, suara ditarik ke provinsi. Tapi, tak langsung menggunakan ranking sisa suara, melainkan lagi-lagi diharuskan membaginya berdasarkan BPP baru.

Lima tahap

Hasilnya, kendati UU No 10/2008 tentang Pemilu, hanya menuliskan ada tiga tahap penghitungan, sesungguhnya sudah menjadi lima tahap. Penghitungan menggunakan kuota Hare yang lazimnya hanya satu tahap, dimekarkan jadi tiga tahap. Sementara, penghitungan dengan sisa suara terbesar (largest remainder) yang lazimnya satu tahap, juga menjadi dua tahap (lihat Simulasi Metode Penghitungan Suara Menjadi Kursi di hlm 26).

Selain itu, berbagai problem pun menyertainya. Antara lain soal keterwakil an. „Kalau suara dinaikan ke luar dari dapil, menjadi gelap. Keterwakilan menjadi tidak jelas,” kata Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro), Hadar Nafis Gumay, pekan lalu.

Pertama, karena pemilih memilih di dapil-dapil, tapi suaranya ditarik ke provinsi dan digabung dengan suara dari dapil-dapil lain di provinsi tersebut. Suara itu pun, bisa saja didistribusikan kepada dapil yang masih kekurangan kursi, bukan kepada dapil yang mempunyai sisa suara terbanyak.

Kedua, saat suara itu ditarik ke provinsi, suara itu dianggap sepenuhnya untuk parpol. Padahal, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih bukan hanya memilih partai, tapi juga memilih calon.

Potensi sengketa pun membesar. Itu terlihat dari jumlah sengketa Pemilu 2009 yang berjumlah 700. Salah satunya adalah kasus Dewie Yasin Limpo, yang bermasalah dalam penghitungan tahap kedua dan ketiga.

Solusi

Belajar dari kekurangan dan kekisruhan metode penghitungan dalam Pemilu 2004 dan 2009, wacana penggantian metode penghitungan kian mengemuka dalam pembahasan RUU Pemilu. Dan, beberapa partai suda mulai mengusulkan metode penghitungan dari keluarga Metode Divisor, bukan lagi Metode Kuota. Partai Golkar, misalnya, mengusung D’Hondt, dan PKS mengusulkan Sainte- Lague. Nurul Arifin mengatakan, metode D’Hondt yang menggunakan bilangan pembagi tetap (BPT) 1, 2, 3, dan seterusnya, lebih adil. Partai yang meraih 230 ribu suara, kursinya dapat dipastikan lebih banyak dibanding partai yang meraih 31 ribu.

„Kalau pakai D’Hondt, 230 ribu itu dibagi satu, dapat satu kursi. 230 ribu dibagi dua menjadi 115 ribu, dapat lagi satu kursi. 230 ribu dibagi tiga menjadi 76 ribu, dapat lagi satu kursi. Jadi, kalau suaranya tetap lebih gede dari suara partai kecil tadi (yang 31 ribu —Red), kursinya tetap ke dia (peraih 230 ribu — Red),” papar Nurul.

Dalam mengusung metode baru tersebut, partai-partai melakukan kajian serius. Nurul mengatakan, partainya membentuk Tim Kajian Revisi Paket UU Politik. „Kita juga mendatangkan banyak pakar ke tim ini, termasuk ahli fisika Yohanes Surya, yang kita pakai juga teorinya,” kata Nurul, Sekretaris Tim Kajian.

PKS yang memilih mengusulkan Sainte-Lague, juga berdasarkan simulasi serius. Itulah sebabnya, partai ini me milih menggunakan Sainte Lague yang dimodifikasi, dengan BPT 1,4; 3; 5; 7; dan seterusnya, bukan Sainte Lague murni yang menggunakan BPT 1; 3; 5; 7; dan seterusnya.

„Kami sudah mengajak teman-teman di Baleg berdebat, dan mayoritas bisa menerima. Karena, partai besar tidak dirugikan, partai kecil juga tidak terlalu dirugikan,” kata Agoes Poernomo yang juga wakil ketua Fraksi PKS.

Konsultan Pemilu Kemitraan (Partnership) August Mellaz, mengatakan salah satu tes bagi metode penghitungan yang fair, adalah jumlah suara mencerminkan kursi. Jika sebuah partai meraih 30 persen suara, maka mestinya kursinya pun 30 persen. Karena itulah, kata dia, Kemitraan mengusulkan penggunaan Sainte-Lague. Bedanya dengan PKS, Kemitraan mengusulkan Sainte Lague murni.

Di antara berbagai varian Metode Divisor, Mellaz mengatakan Sainte-Lague adalah yang paling fair. Berbeda dengan D’Hondt yang cenderung lebih menguntungkan partai besar. „Karena itu, kita propose metode ini kepada parpol, karena mereka diperlakukan sama, tidak berat sebelah, dan tidak memihak siapapun. Dan, metode ini yang paling mendekati proporsionalitas,” kata Mellaz.

Mellaz, memaparkan, metode Largest Remainder (Hare quota), merupakan salah metode paling tinggi derajat proporsionalitasnya dalam keluarga Metode Kuota. Sedangkan, dalam keluarga Metode Divisor, yang paling tinggi derajat proporsionalitasnya adalah Sainte-Lague. Tapi, bila kedua metode tersebut dipertandingkan, Mellaz mengatakan, „Sainte-Lague lebih netral.”

Memang, sudah saatnya UU Pemilu mengadopsi metode penghitungan yang lebih proporsional dan adil buat semua. <>

Semua tulisan koran Republika bertanggal 12 Juli 2011 mengenai tema ini anda bisa membaca di sini (PDF, 500 kB).


Tags: , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami