Aturan Baru buat KPU

Kompas, 11 Oktober 2005

Sidik Pramono

Logo-Kompas-500x337Pemilihan Umum 2004 selalu digadang-gadang sebagai kisah sukses Komisi Pemilihan Umum. Di tengah kekhawatiran selama persiapan, penyelenggaraan pemilu yang tergolong rumit dan kompleks diakui berjalan lancar. Sekalipun dibanjiri kritik dari dalam negeri, pujian dari luar negeri juga bertaburan ditujukan ke KPU.

Sekalipun demikian, tidak bisa dilepaskan bagaimana rusaknya harapan masuknya para akademisi menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Harapan bahwa mereka dapat mendorong proses demokratisasi dan tak akan tergoda uang ternyata kandas. Sejak terbelit kasus suap dan korupsi, denyut kerja di KPU tak semeriah setahun sebelumnya.

Awalnya yang dibongkar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah kasus suap Mulyana W Kusumah, anggota KPU, atas anggota Badan Pengawas Keuangan. Namun, satu demi satu anggota KPU lalu tertimpa tuduhan serupa. Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin juga ditahan KPK. Menyusul kemudian anggota KPU lainnya, Rusadi Kantaprawira. Di jajaran Sekretariat Jenderal KPU yang ditahan lebih banyak, yaitu Plh Sekretaris Jenderal KPU Sussongko Suhardjo, Kepala Biro Keuangan Hamdani Amin, Kepala Biro Umum Bambang Budiarto, mantan Sekretaris Jenderal Safder Yusacc, dan Wakil Kepala Biro Keuangan M Dentjik.

KPU kini benar-benar pincang. Menghitung akhir masa jabatan Maret 2006 rasanya bakal menjadi penantian penuh warna. Padahal, KPU masih dibebani tugas menyampaikan hasil evaluasi Pemilu 2004. Menurut Ketua Komisi II DPR Ferry Mursyidan Baldan, evaluasi KPU akan menjadi bahan penting bagi revisi undang-undang (UU) tentang pemilub termasuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggara Pemilu yang kini sedang digodok Komisi II DPR.

Kaum akademisi yang awalnya menjanjikan harapan ternyata mengecewakan. Tak heran jika muncul keinginan menempatkan kembali unsur partai politik dalam KPU, seperti digagas Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti merasa gagasan itu justru langkah mundur. Pemisahan ”wasit” dengan ”pemain” menjadi kabur. ”Independensi KPU tidak boleh diganggu gugat. Syarat utama anggota KPU adalah bukan anggota atau pengurus partai politik,” ujar Ray.

Bagaimanapun profesionalisme KPU harus dijaga. Ada kebutuhan untuk menjaga bukan cuma proses pemilu yang mulus, melainkan hal-hal di sekitar penyelenggaraan pemilu.

Pengalaman KPU periode sekarang yang terjerembab dalam soal pengadaan logistik pemilu, misalnya, menurut Ketua Komisi II DPR Ferry Mursyidan Baldan, merupakan alasan atas munculnya gagasan agar KPU nanti lebih berkonsentrasi pada soal kebijakan penyelenggaraan pemilu, sedangkan soal teknis diserahkan ke sekretariat atau institusi lain.

Soal siapa saja yang menjadi anggota KPU belum mengerucut. Apakah kalangan akademisi tetap jadi andalan atau tidak? Dalam draf versi Komisi II, syarat menjadi anggota KPU antara lain memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang penyelenggaraan pemilu. Persyaratan itu ”lebih maju” ketimbang sebelumnya yang hanya mensyaratkan pengetahuan memadai tentang sistem kepartaian, pemilu, dan perwakilan rakyat.

Seorang anggota KPU pernah mengusulkan, faktor pengalaman mestinya juga dipertimbangkan. Artinya, kesempatan anggota KPU daerah untuk ”naik kelas” menjadi terbuka. ”Sebab, terbukti, akademisi pun bukan jaminan,” ujarnya.

Materi RUU Penyelenggara Pemilu memang masih dibahas di tim kecil Komisi II DPR. Namun, dari draf 30 September 2005 bisa diprediksi soal-soal yang bakal jadi polemik. Dalam draf itu dinyatakan, penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum yang terdiri dari KPU, Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

KPU bertanggung jawab kepada Presiden. Struktur organisasinya terdiri atas KPU, KPU provinsi sebagai pelaksana pemilu di provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagai pelaksana pemilu di kabupaten/kota.

Panitia pemilihan bersifat sementara yang dibentuk di tingkat pusat sampai ke desa/kelurahan. Di tingkat pusat, Panitia Pemilihan Indonesia diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab ke KPU. Bawaslu adalah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu di seluruh wilayah. Keanggotaan Bawaslu terdiri atas anggota tetap dari kalangan profesional dan anggota tidak tetap yang berasal dari peserta pemilu atau pilkada, kecuali peserta pemilu anggota DPD. (Lihat tabel)

Jika KPU dan Bawaslu digagas sebagai lembaga permanen, panitia pemilihan merupakan lembaga sementara. Dalam draf RUU disebutkan, PPI dibentuk KPU paling lambat setahun sebelum tahapan pertama pelaksanaan pemilu dan dibubarkan paling lambat enam bulan setelah pemungutan suara.

Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto menilai, jika pilihan itu yang diambil, organisasi penyelenggaraan pemilu menjadi gemuk dan rumit. Kebutuhan anggaran untuk petugas pemilu pasti membengkak, berlipat-lipat dibandingkan dengan Pemilu 2004. Padahal, petugas-petugas baru tidak akan menambah kualitas pemilu.

Didik menilai, KPU kabupaten/kota sekarang tidak efisien karena hanya bekerja 6-8 bulan setiap pemilu dan/atau pilkada. Kontrol dan pertanggungjawaban pun lemah sehingga penyimpangan kerap terjadi. ”Orang boleh bilang demokrasi mahal harganya. Tapi, kapan lagi kita berpikir demokrasi pun harus efisien?” kata Didik.

Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin menyatakan, seperti di sejumlah negara lain, election committee mestinya merupakan lembaga teknis pelaksana pemilu. Jerman, umpamanya, tidak punya KPU seperti di Indonesia. Pelaksana pemilu di Jerman, baik nasional maupun daerah, adalah badan pusat statistik, lembaga negara yang netral. Artinya, pelaksananya adalah pegawai negeri. Badan pusat statistik hanya pelaksana pemilu, bukan pembuat kebijakan. UU dibuat oleh parlemen, sementara petunjuk teknis dibuat pemerintah atas persetujuan parlemen. ” Di Indonesia, model ini sulit lantaran negara dan pemerintah dicampur aduk,” kata Pipit.

Ray Rangkuti mengakui, KPU yang sekarang seolah merupakan lembaga yang tidak tersentuh. Kewenangan yang terlalu besar dan yang tidak diawasi oleh lembaga di luar dirinya merupakan penyebab kesan itu.

Padahal, dalam menjalankan perannya, KPU terbukti sempat kerepotan menanggapi kritik saat menetapkan alokasi kursi DPR per provinsi dan penetapan standar mampu secara rohani dan jasmani (yang mengganjal pencalonan Abdurrahman Wahid). Karena itu, menurut Pipit, apa pun yang dilakukan KPU mestinya berpatokan pada UU yang secara detail merumuskan segala soal tentang pemilu. KPU adalah lembaga penyelenggara, bukan legislator

Dalam UU No 12/2003 mengenai pemilu anggota legislatif antara lain dinyatakan, jumlah anggota KPU sebanyak-banyaknya 11 orang. Calon anggota KPU diusulkan Presiden untuk disetujui DPR. Sebelum mengajukan ke DPR, Presiden melakukan penjaringan dengan memerhatikan aspirasi masyarakat.

Penetapan keanggotaan KPU dilakukan Presiden. Tiga bulan sebelum berakhirnya jabatan KPU, Presiden mengusulkan keanggotaan KPU. Jika masa jabatan KPU berakhir Maret 2006, proses seleksi mestinya sudah mulai Desember ini.

Komisi II DPR yakin seluruh proses pembuatan UU sudah on the right track sesuai jadwal. Rencana Komisi II mengajukan RUU Penyelenggara Pemilu dalam Rapat Paripurna DPR.

Namun, mari berhitung. Kini DPR sedang reses untuk kembali bersidang 24 Oktober. Sejauh ini siapa yang bisa menjamin draf yang disiapkan Komisi II tidak akan dipersoalkan?

M Yasin Kara, anggota Tim Kecil Komisi II untuk RUU Penyelenggara Pemilu, menyatakan, UU itu diharapkan segera tuntas agar menjadi acuan rekrutmen anggota KPU 2006-2011.

Akan tetapi, kalaupun UU itu tidak selesai, menurut Ferry, proses pergantian anggota KPU tetap bisa dilakukan dengan mengacu pada UU No 12/2003. Bahwa nantinya ada UU baru yang mengatur hal-hal berbeda dengan ketentuan UU No 12/2003, barulah KPU menyesuaikan diri.

Apa pun, kebutuhan sekarang bukan cuma mendapatkan KPU yang baru. Yang lebih penting adalah mendapat pemilu yang baik dengan KPU yang tidak berlepotan dan ”bau”. Setuju? <>


Tags: , , , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami