Mampukah UU AP Menjadi Tumpuan Publik?
Kedaulatan Rakyat, 25 Oktober 2007
oleh Ronny Sugian
LAYANAN yang diberikan oleh Pemerintah selama ini dirasa masih kurang memuaskan. Sebagian masyarakat beranggapan hal ini karena Pemerintah terkesan tidak siap menghadapi perubahan dari Era Orde Baru ke Era Reformasi yang sangat kental dengan nuansa otonomi daerah. Sebagian masyarakat lainnya menganggap bahwa Pemerintah memang tidak serius dalam melayani rakyatnya. Ini terbukti karena hampir-hampir tidak ada perbaikan dari tahun ke tahun. Lihat saja jalanan di kota-kota besar semakin padat dan semrawut, tetapi seolah-olah tidak ada tindakan strategis yang diambil untuk mengurangi kemacetan tersebut. Juga masalah pelayanan kesehatan yang masih timpang antara warga mampu dan warga miskin. Masalah pendidikan yang semakin tidak bisa dinikmati oleh warga pra-sejahtera, juga terasa sekali. Pemerintah sendiri agaknya juga memahami kritikan ini. Oleh karenanya, pada tahun 2005 yang lalu, Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Penertiban Aparatur Negara, telah mengajukan RUU Administrasi Pemerintah (RUU AP), untuk dimintakan persetujuan kepada DPR, sudah barang tentu melalui berbagai seminar dan dengar pendapat. UU AP diharapkan dapat memberi jaminan bahwa keputusan instansi pemerintah terhadap warganya tidak dapat dilakukan semena-mena, dan warga negara tidak lagi diperlakukan sebagai objek, melainkan sebagai subjek yang aktif. Selain itu, UU ini juga ditujukan untuk menjamin terlaksananya tata pemerintahan yang baik (good governance), sehingga dapat mengurangi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (Dasar Pemikiran). UU ini cukup tegas menggunakan 14 asas agar pemerintahan dapat berjalan sesuai dengan asas-asas umum yang baik (Pasal 2), di antaranya adalah asas kepastian hukum, asas motivasi, asas tidak melampaui dan atau mencampuradukkan kewenangan, asas kewajaran dan kepatutan, dan sebagainya. Asas kepastian hukum diperlukan agar semua tindakan pemerintah dilandasi dengan aturan yang jelas dan pasti, antara lain dengan dirancangnya UU AP ini. Beberapa asas juga dicantumkan dalam UU AP ini dan agaknya belum menjadi asas yang umum dalam undang-undang kepemerintahanan yang lain. Contohnya adalah asas motivasi, yang mengharuskan instansi atau pejabat pemerintah untuk membuat keputusan dengan didukung alasan-alasan. Asas ini masih didukung dengan asas bertindak yang wajar, yang melarang pejabat atau badan pemerintah bertindak sewenang-wenang. Dengan berbagai azas (sebanyak 14 asas) tersebut, diharapkan tujuan UU AP (ada 7) dapat tercapai, di antaranya adalah menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan, menciptakan kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, dan sebagainya (Pasal 3). Oleh karenanya sangat terlihat bahwa UU AP lebih banyak mengatur pejabat dan instansi pemerintah agar lebih baik dalam melayani masyarakat. Bahkan apabila suatu instansi tidak mampu memberi layanan kepada masyarakat, dapat meminta bantuan kepada instansi pemerintah yang lain (Pasal 6). Selama ini kelemahan penyelenggaraan layanan kepada masyarakat memang pada kerja sama antarinstansi yang masih kurang terkoordinasi. Satu hal yang perlu diacungi jempol adalah keberanian UU AP ini untuk memanfaatkan komunikasi elektronik (Pasal 9). Selama ini, komunikasi tertulis menjadi hambatan utama dalam pemberian layanan publik. Seringkali masyarakat pengguna jasa tidak tahu (atau dibuat tidak tahu) sampai di mana berkasnya, sehingga juga tidak ada jawaban yang pasti, apakah akan memperoleh layanan atau tidak. Setelah menunggu berbulan-bulan (atau bertahun-tahun) barulah dijawab kalau layanan tidak bisa diberikan. Contohnya adalah pemberian SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan RI) untuk para atlet yang telah berprestasi di tingkat internasional. Kendati atlet bersangkutan tidak pernah tinggal di luar negeri sejak lahir, tetapi tetap saja sulit mendapatkan hak-haknya. Dengan adanya komunikasi secara elektronik, terutama melalui Internet dan media komunikasi lainnya, seharusnya proses pemberian layanan menjadi semakin cepat. Bahkan jangka waktu pemberian keputusan ini dibatasi 30 hari sejak pengiriman (Pasal 9 ayat 4). Dengan batasan waktu yang pasti seperti ini, pengguna jasa akan merasa lega dan tidak perlu bertanya-tanya, kapan permohonannya akan mendapat jawaban, baik berupa jawaban ya maupun tidak. Apa yang Kurang?
Menurut seorang pengamat hukum Pipit Kartawidjaja, pada seminar di Jakarta pada tanggal 25 Agustus 2005, RUU AP ini sangat mirip dengan UU serupa milik negara Jerman yang terbit tahun 1976 (disebut UU Prosedur Administrasi Negara/UU PAN). Bedanya adalah RUU AP terdiri atas 40 pasal, sedang UU PAN (milik Jerman) terdiri atas 103 pasal. Jauh lebih banyak karena mengatur berbagai pertimbangan dan syarat-syarat membuat keputusan diskresi (keputusan yang belum diatur). Diskresi dimungkinkan namun dengan syarat yang ketat, sehingga tidak mudah disalahgunakan oleh pejabat publik. Hal inilah yang belum diatur oleh RUU AP kita. Masih menurut Pipit Kartawidjaja, UU PAN di Jerman menggunakan falsafah bahwa pegawai negeri di Jerman, tidak tunduk kepada Pemerintah, tetapi tunduk kepada Undang-undang. PNS di Jerman berhak menolak perintah atasan, bila jelas-jelas melanggar kepentingan publik (yang sudah diatur di dalam UU). Sementara di Indonesia, PNS adalah alat Pemerintah. Di sini perbedaan pokok yang lain. Terkait dengan ini, tak berlebihan kalau kemudian pengamat teknologi informasi Drs Wing Wahyu Winarno MAFIS, Akuntan, berpendapat bahwa dari formatnya, RUU AP memiliki tampilan baru yang berbeda dengan RUU dan UU yang selama ini ada di Indonesia, yaitu antara masing-masing pasal dan penjelasannya, ditulis berdampingan, sehingga pembaca tidak perlu membolak-balik halaman untuk memahami suatu pasal (seperti yang terjadi pada RUU dan UU yang lain). Berarti anggapan bahwa UU „harus seperti itu“ tidak benar, karena masih dapat diatur agar lebih informatif dan lebih mudah dibaca. Untuk ini, Menteri PAN selaku penggagas RUU AP, patut diacungi jempol. Karena ada perbaikan drastis, mestinya tidak usah tanggung-tanggung, sekalian ditambahi dengan informasi lain. Seperti kita tahu, semua UU (dan aturan lain) yang terbit di Indonesia, bersifat „bersih“ seperti yang kita lihat selama ini. Artinya, tidak ada keberatan atau usulan-usulan yang disampaikan selama proses pengesahan. Hal ini tentu rawan dengan „pemutarbalikan“ atau „pemelintiran“. Misalnya saja UUD 1945 sebelum diamandemen, menyatakan bahwa „Presiden dapat dipilih kembali“;, tentu maksud para pembuatnya dulu adalah dipilih dalam waktu yang terbatas, bukan seumur hidup. Akhirnya terbukti sudah dua Presiden yang berusaha untuk diangkat sampai waktu yang tidak terbatas. Demikian juga dengan pasal „Presiden harus orang Indonesia asli“, siapa yang dimaksud dengan orang Indonesia asli? Apakah orang yang lahir di Indonesia? Atau orang yang orang tuanya harus berasal dari suku-suku di Indonesia? Bagaimana misalnya dengan orang keturunan Cina, India, Arab, yang sejak zaman Majapahit dulu sudah ada di Indonesia, apakah mereka bukan orang Indonesia asli? Di bagian penjelasannya hanya dicantumkan „Cukup jelas“.
Oleh karenanya, Wing Wahyu Winarno yang mendapatkan gelar Masternya dari AS itu pernah melontarkan mengkritisi, berbagai isu, pertanyaan, atau usulan penting yang selama ini muncul dalam berbagai acara diskusi, seminar, dan dengar pendapat, harus dicantumkan sebagai lampiran Undang-undang ini. Dengan adanya pemikiran-pemikiran tambahan ini, akan semakin mengurangi akal-akalan oleh para penegak hukum dan pejabat pemerintah sendiri. Pemberian lampiran seperti ini sudah jamak dilakukan di negara-negara maju, contohnya di Amerika Serikat. Bahkan di AS, putusan pengadilan pun (yang dilengkapi dengan alasan dan pertimbangan pembuatan putusan) dapat diakses oleh publik, karena disebar di berbagai perpustakaan dan saluran elektronik (seperti Internet). Contoh yang masih hangat adalah putusan kasasi oleh Mahkamah Agung terhadap 33 anggota DPRD Sumbar, yang dibagi dalam tiga kelompok. Dua kelompok sudah ditolak kasasinya, tapi satu kelompok diterima kasasinya, padahal mereka melakukan tindakan korupsi bersama-sama dan prosesnya juga dilakukan bersama-sama. Tetapi mengapa putusannya bisa berbeda? Tidak ada alasan yang jelas. Mudah-mudahan, dengan adanya UU AP, hal-hal seperti ini tidak akan terulang lagi, dan pemerintahan yang bersih dan berwibawa pun akan segera terwujud di negeri ini. <>