Penting dan Rumit demi Kepuasan Rakyat

Kompas, 16 Desember 2005

Sidik Pramono

Logo-Kompas-500x337Apakah pelayanan publik sudah memenuhi harapan? Jawabannya mungkin nyaris seragam: tidak atau belum! Berpijak dari kondisi itu, apakah mendesak kebutuhan payung hukum soal pelayanan publik? Jawabannya tentu tidak akan bergeser: ya! Pertanyaan berikutnya, kapan dan dari mana pembenahan itu harus dimulai?

Keinginan memperbaiki pelayanan publik mendasari kesepakatan antara Komisi II DPR dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi untuk meneruskan proses pengusulan Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik. Semua fraksi di Komisi II sependapat RUU tersebut diperlukan sebagai pijakan awal untuk menata birokrasi di Indonesia.

Seperti dinyatakan Taufiq Effendi, penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Keluhan muncul, mulai dari prosedur pengurusan layanan yang berbelit-belit sampai soal sikap aparat yang tidak menyenangkan. Kewajiban negara melayani setiap warga negara dan penduduk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Keterangan pemerintah soal RUU Pelayanan Publik menyebutkan kegiatan pelayanan publik lebih lanjut diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Secara garis besar, peraturan tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu undang-undang yang menjamin pelayanan dilakukan oleh aparat dan kelompok undang-undang sektoral yang menjadi dasar dan wewenang bagi setiap departemen, instansi, atau pemerintah daerah untuk melayani. Undang-undang mengatur tegas kewajiban pemerintah memberikan pelayanan meski sebagian di antaranya tidak mengatur secara eksplisit.

Peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan publik masih terfragmentasi, belum cukup mengatur aspek pelayanan publik yang diperlukan. Akibatnya, potensi penyimpangan terhadap kewajiban pelayanan publik relatif besar. Upaya perbaikan kualitas pelayanan publik dilakukan melalui pembenahan sistem pelayanan publik secara menyeluruh dan terintegrasi yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dalam bentuk undang-undang yang diharapkan menjadi payung hukum bagi pelaksanaan kegiatan pelayanan publik dan yang memiliki sanksi sehingga memiliki daya paksa terhadap pemenuhan standar tertentu dalam pelayanan publik.

Kenyataan saat ini?

Mengutip catatan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti soal fenomena birokrasi di Indonesia, kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.

Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Bahkan kemudian terjadi politisasi birokrasi. Pada rezim Orde Baru, birokrasi menjadi alat mempertahankan kekuasaan.

Dalam draf RUU Pelayanan Publik itu termuat ketentuan dasar bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan penyelenggara pelayanan publik. Yang dimaksud sebagai penyelenggara adalah penyelenggara negara, penyelenggara ekonomi negara dan korporasi penyelenggara pelayanan publik, dan lembaga independen yang dibentuk pemerintah. Aparat penyelenggara pelayanan publik adalah pejabat, pegawai, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara.

Belum lagi tahapan pembahasan RUU Pelayanan Publik berlanjut, sejumlah ketentuan di dalamnya sudah mendapat sorotan. Anggota Komisi II Jazuli Juwaini (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Banten II) menyoal adanya ketentuan aparat dilarang merangkap sebagai pengurus organisasi, baik organisasi usaha maupun organisasi politik yang secara langsung terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik yang bersangkutan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Jika memang sepakat bahwa aparat pelayanan publik tidak boleh diskriminatif, tidak boleh ada perkecualian soal netralitas itu. Sementara Wakil Ketua Komisi II Sayuti Asyathri (Fraksi Partai Amanat Nasional, Jawa Barat III) menyoroti pedoman perilaku aparat yang diurai tetapi tanpa ukuran yang jelas. Selain itu, anggota Komisi II RB Suryama Majana (F-PKS, Jawa Barat VI) menyoal ketentuan mengenai gugatan atau tuntutan masyarakat yang antara lain hanya bisa dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang berbentuk badan hukum dan dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas tujuan didirikan organisasi adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat di bidang pelayanan publik. Ketentuan dengan pembatasan seperti itu dirasa tidak perlu.

Perdebatan atas RUU ini memang diprediksi relatif dinamis. Jika merujuk pada keinginan menjadikan ketentuan menjadi payung, dinamika pembahasan memang harus senantiasa dicermati. Setiap pasal harus dicermati untuk menghindarkannya menjadi ketentuan yang beku di atas meja, tidak operasional di lapangan. Karena menyangkut kepentingan publik, sudah semestinya publik harus mengerti undang-undang, terutama untuk menjamin transparansi, menghindari tumpang tindih aturan.

Rumit

Rumitnya ketentuan mengenai pelayanan publik ini dinilai Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia sebagai pemborosan waktu dan tenaga. Pipit menunjuk pada ketentuan dalam RUU Pelayanan Publik yang sebenarnya diatur lewat ketentuan perundang-undangan yang lain. Larangan dan kewajiban aparat, misalnya, bisa diatur dalam undang-undang mengenai pegawai negeri sipil. Ketentuan soal pengawasan dan penyelesaian sengketa pun sudah dapat merujuk pada ketentuan khusus mengenai Ombudsman dan juga Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pipit menunjuk inefisiensi yang terjadi karena pada saat yang nyaris bersamaan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara juga sedang mempersiapkan RUU Administrasi Pemerintahan yang lebih bersifat teknis. Sebenarnya RUU ini lebih layak diprioritaskan karena sudah mencakup ketentuan yang ada dalam RUU Pelayanan Publik. Bahkan, dalam soal pelaksanaan asas penyelenggaraan pelayanan publik, lebih jelas apa ketentuan dalam RUU Administrasi Pemerintahan. Dalam RUU Pelayanan Publik tidak jelas bagaimana teknis pelaksanaan asas penyelenggaraan publik, kecuali ketentuan penyelenggara wajib menyusun dan menetapkan standar pelayanan. Yang dikhawatirkan, ketentuan bisa diterjemahkan berbeda oleh penyelenggara pelayanan publik.

Sebagai perbandingan, dalam RUU Pelayanan Publik tercantum ketentuan mengenai perilaku aparat dalam penyampaian layanan. Antara lain aparat tidak membocorkan informasi atau dokumen yang menurut peraturan perundang-undangan wajib dirahasiakan. Ketentuan ini dinilai riskan karena membuka ruang bagi aparat penyelenggara pelayanan publik untuk mendefinisikan sendiri batasan rahasia itu demi kepentingan sendiri sementara di sisi lain tidak termuat ketentuan kewajiban mereka membuka akses bagi publik untuk memperoleh informasi. Sementara dalam draf awal RUU Administrasi Pemerintahan justru tercantum ketentuan instansi pemerintah wajib memberikan akses dan kesempatan kepada pihak yang terlibat untuk melihat dokumen administrasi pemerintahan yang dapat mendukung kepentingannya dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan.

Apa pun akhirnya nanti, RUU Pelayanan Publik masih sebatas adanya keinginan baik untuk meningkatkan pelayanan publik. Simak saja ketentuan peralihan RUU itu, Penyusunan dan pelaksanaan standar pelayanan, maklumat pelayanan, sistem informasi, dan tata cara pengelolaan pengaduan harus dipenuhi selambat-lambatnya dua tahun sejak undang-undang ini berlaku.

Memang lebih bagus kalau ketentuan itu segera direalisasikan. Namun, bagaimana kalau ketentuan itu pun lagi-lagi tertunda-tunda pemenuhannya? <>


Tags: , , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami