Membedah Jaringan LSM Jerman

TIRAS, No. 14/THN. I/4 Mei 1995

Sejumlah organisasi pemrakarsa demonstrasi di Jerman bereaksi. Sebagian profil mereka.

Nanang Junaedi

TirasBentuknya tak lebih dari secarik kertas. Namun, surat protes yang dikirim Johanna Kalex kepada pemerintah Indonesia itu cukup mewakili suara para demonstran Dresden yang, awal April lalu, „mengganggu“ kunjungan Presiden Soeharto. Pimpinan organisasi Wolfpelz (Bulu Serigala) yang namanya tercantum sebagai pemohon izin resmi demonstrasi Dresden itu, mengaku „cemas“ mendengar kabar tentang buntut unjuk rasa itu di Indonesia. Sambil menjelaskan latar belakang penyelenggaraan demonstrasi tersebut, Kalex menulis, „Kami khawatir, demonstrasi tersebut dijadikan alasan untuk menekan gerakan demokrasi di negeri Anda.“

Protes dan langgam kekhawatiran juga berdatangan dari sejumlah kelompok yang (mengaku) terlibat sebagai organisator demonstrasi di Jerman. Kelompok Watch Indonesia misalnya, bahkan sempat menulis surat terbuka kepada DPR RI — menjelaskan secara rinci segala sesuatu menyangkut „penyambutan“ mereka atas kunjungan Pak Harto selama di Jerman. „Selama ini kami sudah biasa memprotes pelanggaran hak asasi seperti di Bosnia, Rwandha, Turki, dan Palestina. Lalu mengapa Indonesia harus dikecualikan?“ tulis Watch Indonesia.

Sebuah sumber di Belanda malah menginformasikan, dalam pertemuan di Portugal Mei mendatang, Parlemen International juga berniat memasukkan insiden Dresden — berikut implikasinya — ke agenda pembicaraan. Menurut sumber, Sri Bintang Pamungkas sedianya akan diundang dalam forum tersebut untuk diajak berdiskusi dan menjelaskan „duduk perkara“ sehingga ia dituduh terlibat dalam aksi demonstrasi di Jerman. Namun, „Karena nasib Bintang belum jelas, Parlemen International terlebih dahulu akan menulis surat kepada Ketua MPR/DPR RI.“

Semarak. Itulah akhirnya kesan yang mencuat menyusul „debat publik“ tentang rangkaian unjuk rasa di tiga kota di Jerman itu. Tidak mustahil, seorang pengamat memperkirakah, „Gaung dari perdebatan ini justru akan memperburuk citra Indonesia di mata dunia internasional.“ Konkretnya, meminjam istilah Dr. Kastorius Sinaga, pakar politik pembangunan dari Universitas Indonesia, „Isu yang berkembang di Indonesia hari-hari ini sangat potensial memancing kekuatan oposisi di Jerman untuk kembali bangkit ‘melawan’ Kanselir Helmut Kohl.“

Bukan tanpa alasan. Sebab sejarah sendiri mencatat, kelompok oposan — terutama dari kalangan parlemen Jerman — sejak lama memang tak pernah „akur“ dengan kebijakan pemerintah Bonn, yang telah menjalin kerja sama. ekonomi dengan RI. Sikap mereka tegas. Sebagaimana diakui sumber TIRAS di Berlin, „Se-tiap mark yang dikeluarkan untuk sebuah bantuan ekonomi, terlebih dahulu harus ada jaminan hak asasi manusia.“

Meski hanya di balik layar, dukungan kelompok oposan — khususnya dari Partai Buruh SKD dan Partai Hijau — memang cukup besar dalam mempersiapkan „penyambutan“ kunjungan Presiden Soeharto. Tidak cuma memberikan info tentang agenda kunjungan Pak Harto. „Kesamaan pandangan“ tentang Indonesia-lah yang lebih mengundang partisipasi mereka dalam penyelenggaraan Pekan Hannover „tandingan“ awal April itu (Lihat: TIRAS No. 13/27 April 1995).

Dan, sulit dibantah, ihwal „kesamaan pandangan“ itu pula sesungguhnya yang menjadi katup pemersatu dari sejumlah organisasi nonpemerintah yang menjadi „panitia“ inti Pekan Hannover tandingan itu. „Jaringan atau sinergi antarorganisasi ini sebenarnya baru terbentuk sekitar dua tahun terakhir, dan langsung intensif karena mempunyai kesamaan pandang, khususnya mengenai hak asasi,“ ujar Kastorius Sinaga — lulusan Universitas Bielefeld-Jerman ini.

Sebelumnya, seperti diakui beberapa sumber TIRAS di Jerman, organisasi-organisasi tersebut memang terkesan „cerai-berai“ dan asyik menekuni isu yang menjadi concern setiap organisasi. Sebut misalnya Robinwood dan ARA yang menggeluti masalah kehutanan; BUKO-Champaign yang asyik dengan kampanye antipenjualan senjatanya. Ada juga Gereja Evangelis (Evangelische Kirche Deutschland/EKD), Watch Indonesia, dan Tapol (di luar Amnesty International yang sudah kesohor di Indonesia), yang menggeluti isu-isu demokratisasi dan HAM.

Organisasi lain, bisa disebut, IMBAS (yang belakangan lebih suka menekuni isu seputar bahaya nuklir), South Ost Information Stelle/SOA (Jaringan Informasi Asia Tenggara), Gesellschaft fur Bedrohte Voelker (Perkumpulan untuk suku-suku terancam), dan sejumlah organisasi lain. Menurut sumber TIRAS, sinergi antarorganisasi ini memang terasa menonjol dalam setahun terakhir, yakni sejak diselenggarakan pertemuan rutin tahunan. „Selain untuk menyamakan persepsi, melalui pertemuan tersebut kami bisa membahas isu-isu sentral yang dipandang perlu ditindakianjuti. Misalnya, ya ‘acara’ yang kemarin itu . . .,“ jelas sumber.

Pekan Hannover tandingan, menurut Pipit Rochijat Kartawidjaja, memang sengaja digelar untuk mengingatkan masyarakat Jerman dan pemerintahnya bahwa masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial Utara-Selatan adalah sumber segala bencana. Selain itu, demikian aktivis Watch Indonesia ini, pemerintah Jerman sendiri berkepentingan — karena mereka adalah penganut fanatik sistem ekonomi pasar bebas yang sosial (social free market). Artinya, jelas Pipit, „Perkembangan ekonomi bebas harus mengikutsertakan perdamaian sosial.“

Tentu, tak cuma isu dari bumi Nusantara yang menjadi concern jaringan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) ini. Beberapa isu di belahan dunia yang lain — tak terkecuali isu di dalam negeri Jerman sendiri — sering pula dibahas dalam forum pertemuan antarorganisasi ini. „Jika kemudian disepakati untuk membuat aksi, biasanya salah satu organisasi ditunjuk sebagai panitia pelaksananya,“ tutur sumber itu. Dalam „penyambutan“ rombongan Pak Harto, misalnya, yang ditunjuk sebagai panitia pelaksana adalah organisasi BUKO-Champaign. Tentu, dalam pelaksanaan di lapangan, organisasi yang lain ikut pula dilibatkan.

Kendati terkesan „garang“ di lapangan — bahkan saat „menyambut“ tamu negara sekali pun — sifat organisasi-organisasi tersebut sesungguhnya resmi adanya. Selain berstatus hokum, keberadaan mereka juga dilindungi UU. Bahkan, untuk membiayai kegiatan mereka, pemerintah Jerman secara rutin memberikan santunan kepada mereka. „Jangankan untuk organisasi, pengangguran saja digaji di Jerman . . .,“ ujar sumber TIRAS. Besar kecilnya santunan memang tak menentu, tergantung proposal kegiatan yang disusun tiap-tiap organisasi.

Selain itu, tak seluruh organisasi di sana populer dan mempunyai basis massa kuat. Hanya beberapa yang memiliki akses langsung, bahkan berpengaruh kuat dalam pengambilan keputusan di tingkat elite. Sebut saja BUKO-Champaign — yang terkenal dengan kampanye antipenjualan senjatanya. Organisasi, yang bermarkas di Bremen ini tak cuma berpengaruh di Partai Hijau (ketua BUKO sendiri juga dari partai ini), tetapi juga di parlemen Eropa. Maklum, BUKO — yang banyak menampung ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu — adalah salah satu pendiri Jaringan Eropa Penentang Ekspor Senjata, yang keanggotaannya meliputi hampir seluruh negara di Eropa Barat.

Lahir akibat „trauma“ Perang Dunia II, yang memang banyak menelan korban, BUKO sejak awal konsisten mengkampanyekan sisi buruk perdagangan senjata. Bukan hanya utang tinggi dengan semua akibat sosial, politik, dan ekonominya. „Penjualan senjata juga cenderung menciptakan suasana represif, yang mengarah kepada militerisasi di negara pengimpor,“ ujar Alex Florl, salah seorang aktivis BUKO. Bagi BUKO, seperti dikatakan Florl, adalah lebih bermanfaat apabila dana untuk pembelian senjata itu dipergunakan untuk kepentingan masyarakat. Pada 1984, BUKO di Jerman memutuskan untuk menginisiasi suatu bentuk kampanye yang memasang target utama: menghentikan ekspor senjata.

‘Menilik kegigihan BUKO dalam berkampanye, tak aneh jika Indonesia — yang barusan membeli 39 kapal perang eks Jerman Timur (NVA) — termasuk dalam „daftar serangan“. Wajar. Dengan kian bergulirnya isu pelanggaran hak asasi di Indonesia, „Kami justru khawatir, penjualan kapal tersebut akan semakin memperburuk kondisi HAM di Indonesia,“ ujar Florl, saat dihubungi Imam Wahyu dari TIRAS, Senin (24/4).

Sejajar dengan BUKO — setidaknya jika dilihat dari akses ke parlemen Eropa dan Partai Hijau — adalah SOA, alias Jaringan Informasi Asia Tenggara. Organisasi ini tergolong unik, karena bidang „garapan“-nya yang spesifik: meliputi negara-negara di kawasan ASEAN. Menurut salah seorang aktivisnya, SOA — yang banyak menampung pelajar/mahasiswa dari negara-negara di kawasan itu — hakikatnya, adalah sebuah lembaga advokasi dan HAM yang setengah ilmiah dan setengah action oriented. <>

Semula, lembaga yang rajin menerbitkan buletin triwulanan itu bermarkas di Kota Bochum. Namun, sejak Januari 1995, mereka hijrah ke Asian Haus di Essen, kota di dekat Dusseldorf yang terkenal dengan pameran mobilnya. Di markas barunya, fasilitas yang tersedia memang relatif lebih komplet. Misalnya ruangan kantor yang disusun secara terpisah, untuk memantau perkembangan setiap negara di Asia Tenggara.

Namun, untuk soal jaringan, rasanya tak ada yang mampu mengalahkan Gereja Evangelis — organisasi gereja yang terkenal dengan „gerakan damai“ saat mempelopori revolusi di Jerman Timur. Berpusat di Kota Wuppertal, aktivis protestan ini semakin meroket namanya berkat aktivitas LSM-nya: Brot fur Die Welt (Roti untuk Dunia) — yang antara lain banyak membantu gereja protestan di Indonesia. Untuk menopang kegiatan Brot fur Die Welt, Evangelis juga mempunyai program misionaris yang dikenal dengan nama VEM (Vereinigte Evangelische Mission). Pendeta-pendeta „kiriman“ asal VEM inilah yang memberi pengaruh kuat kepada sejumlah gereja protestan di Indonesia.

Jika Brot fur Die Welt lebih tampil dengan “jalur kasih“, lain lagi cerita aktivis gereja dari (Jerman) Timur. Lantaran berpengalaman hidup dalam tradisi politik yang berkiblat ke komunis, aktivis gereja Timur ini umumnya lebih sensitif terhadap isu-isu demokratisasi dan HAM. Sehingga tutur sumber di Berlin, „Jika ada aktivis gereja yang terlibat dalam demonstrasi di Dresden, kemungkinan besar mereka yang dari Timur inilah orangnya.“

Yang jelas, lantaran kedekatannya dengan gereja-gereja protestan di Indonesia itulah yang membuat aktivis Evangelis sangat „akrab“ dengan kemelut Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Dalam pandangan mereka, picu dari kemelut yang berkepanjangan itu tak lain karena: HKBP tidak pernah diberi kebebasan untuk menyelesaikan sendiri konflik internalnya. Pendek kata, „Mereka tak mau otonomi gereja diinvasi oleh negara,“ kata sumber TIRAS yang lain.

Pada titik ini — lepas dari benar tidaknya „tuduhan“ tersebut — cukup beralasan jika belakangan muncul berbagai bentuk selebaran gelap, yang menunjuk keterlibatan „kelompok oposan“ HKBP dalam aksi demonstrasi di Jerman. Apalagi dalam Pekan Hannover tandingan, potret kemelut HKBP tersaji amat rinci dalam seminar „Kebebasan Beragama dan Hak Asasi Manusia“ yang digelar di Haans-Lilje Haus, Knochenhauerstr 33, Senin (3/4).

Dalam seminar yang diselenggarakan Amnesty International itu, pembicara tunggal Dr. Achenbach — mantan-dosen di Sekolah Tinggi Teologia HKBP, Pematang Siantar — memang banyak berkisah tentang rangkaian kemelut di gereja dengan 2,5 juta umat itu. Masalahnya, benarkah ada „kelompok oposan“ HKBP yang terlibat? Ketika dihubungi TIRAS, Sabtu (22/4), seorang aktivis Amnesty International langsung menyergah. Katanya, „Tidak ada ‘tangan Indonesia’ yang terlibat dalam penyelenggaraan diskusi agama itu.“

Sementara itu, dari begitu banyaknya organisasi yang memprakarsai demonstrasi di Jerman, tampaknya Watch Indonesia-lah yang terhitung paling muda usia. Didirikan pada 1991, organisasi yang beranggotakan sejumlah orang Indonesia dan Jerman ini sengaja menspesialisasikan diri sebagai pemerhati masalah HAM di Indonesia. „Watch Indonesia didirikan untuk membantu kelompok-kelompok di Indonesia yang menginginkan demokrasi dan penegakan HAM,“ ujar salah seorang pendiri Watch Indonesia kepada TIRAS.

Menurut wanita asli Jerman ini, pembentukan Watch Indonesia sama sekali bukan untuk menjelek-jelekkan Indonesia. „Kami justru ingin membantu Indonesia untuk menciptakan iklim yang lebih demokratis.“ Itulah sebabnya, selain giat memberikan advokasi dan berbagi informasi melalui buletin bulanannya, aktivitas Watch Indonesia lebih banyak diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan ilmiah. Misalnya, bekerja sama dengan sejumlah universitas di Jerman untuk menyelenggarakan seminar tentang Indonesia. „Kami lebih suka diskusi daripada demonstrasi,“ kata sumber itu.

Dalam tempo yang relatif singkat, organisasi yang berkantor pusat di Berlin itu kini sudah membawahkan sejumlah organisasi otonom yang tersebar hampir di setiap kota besar di Jerman. Salah satunya: Ost Timor Grup, organisasi otonom yang giat mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi seputar pelaksanaan HAM dan demokrasi di Indonesia, khususnya Timor Timur.

Desember tahun lalu, ketika jaringan antar-LSM itu berkumpul, seluruh rangkaian „penyambutan“ Presiden Soeharto sudah tersusun secara definitif dalam sebuah kalender. Selain menunjuk BUKO-Champaign sebagai “penanggung jawab“ seluruh acara, forum selanjutnya menugasi Amnesty International seksi Jerman sebagai „penanggung jawab“ aksi unjuk rasa. Sedangkan Watch Indonesia, dibantu Universitas Hannover dan Universitas Humboldt, Berlin, ditunjuk sebagai panitia pelaksana seminar ekonomi.

Di Indonesia, menurut sumber-sumber TIRAS, informasi tentang rencana „penyambutan“ Presiden di Jerman bahkan sudah diperoleh beberapa bulan sebelum pertemuan Desember. Informasi tersebut, kata sumber, dibawa oleh dua orang utusan dari INDOK — organisasi yang bergerak di bidang seni budaya dan berpusat di Koln — yang datang ke Indonesia untuk menemui sejumlah LSM di tanah air.

„Pembocoran“ informasi tentang rencana demonstrasi itu sendiri sesungguhnya hanyalah sasaran antara. Sebab, misi utama kedua utusan, tak lain untuk membicarakan rencana INDOK yang hendak menerbitkan buku khusus menyambut 50 Tahun Indonesia Merdeka. Buku yang merupakan bunga rampai (kumpulan tulisan) dari sejumlah tokoh kritis Indonesia itu disunting oleh Prof. Ingrid Wessel (mantan ketua Jurusan Indonesia di Universitas Humboldt), dan ditulis dalam bahasa Jerman. „Buku tersebut saat ini sudah beredar di Jerman.“

Apa pun, menilik riuh rendah „panitia“, memang mustahil jika „bau demonstrasi“ tak tercium oleh pihak Kedutaan Besar RI maupun Atase Pertahanan di Bonn. Bukan hanya yang di Hannover dan Dusseldorf. Demonstrasi di Dresden — yang a.l. dimotori kelompok Neues Forum dan tidak diakui sebagai kalender resmi Pekan Hannover tandingan — sebenarnya juga tidak susah dideteksi. Lalu, apa pasal „kerikil“ itu tetap saja merecoki lawatan sepekan Presiden di negeri liberal itu?

Banyak analisis bisa disajikan. Pun, banyak fakta yang bisa dikais menjadi barang bukti. Masalahnya, kerikil — betapa pun menyakitkan — acap kali memang hanya membuat geli. <>


Tags: , , , , , , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami