‘Belajar Sistem Pemilu Tiga Hari Itu Absurd’

Republika, 15 Maret 2017

https://www.watchindonesia.de/wp-content/uploads/teraju15.3.17.pdf

OLEH HARUN HUSEIN

Pernyataan pimpinan Pansus RUU Pemilu bahwa sistem pemilu MMP tidak kompatibel dengan sistem presidensial dinilai ganjil.

RepublikaAda sebuah cerita lucu nan mengenaskan sebelum Panitia Khusus Rancangan Undang- Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum berangkat studi banding ke Jerman. Kisah tersebut diceritakan oleh peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Pipit R Kartawidjaja, awal pekan ini.

Usai memberikan paparan dalam sebuah rapat Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu di DPR, Pipit dihampiri seorang pimpinan pansus. Sang legislator itu bercerita bahwa dia telah menghubungi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Jerman untuk menanyakan siapa ahli pemilu Jerman. Tapi, jawaban dari KBRI sungguh mengejutkan, karena mereka mengatakan orang yang ahli tentang pemilu Jerman adalah Pipit R Kartawidjaja. „Tapi, orangnya sekarang ada di Indonesia,” jawab pihak KBRI.

Mendengar curhatan sang pimpinan Pansus, Pipit tertawa. Penulis sejumlah buku sistem pemilu dan matematika pemilu, ini, pun kemudian berkata kepada sang pimpinan Pansus, „Yaa udah nggak usah jauh-jauh ke Jerman. Sini saya kursusin, sehari kelar. Tapi kelihatan dia tetap ngotot [berangkat studi banding].”

Pipit yang masih merupakan presiden Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Eropa, ini, kemudian mengecek kebenaran kabar tersebut ke KBRI Jerman di Berlin. „Saya cek KBRI, memang benar ada permintaan itu, dan mereka di sana juga kelabakan,” kata Pipit yang juga pimpinan Watch Indonesia! di Berlin.

Pasalnya, kata Pipit, dalam urusan pemilu dan kepartaian yang sangat teknis, biasanya yang dimintai bantuan oleh KBRI untuk menjelaskan dan menjadi penerjemah adalah Pipit. Tapi, kini Pipit justru sedang tak ada di Berlin. Padahal, urusan pemilu terbilang kompleks, dan tak sembarang penerjemah bisa memberi penjelasan.

„Kalau biasanya ada yang dari Indonesia ke Jerman, terus nanya-nanya soal pemilu, sejak era Pak Fauzi Bowo menjadi dubes, biasanya saya yang diminta jadi penerjemah gitu-gituan. Karena memahami sistem pemilu Jerman itu susah. Lebih susah dari sistem pemilu biasa. Sehingga, perlu penerjemah yang cocok,” kata Pipit.

Misalnya, kata Pipit, saat dijelaskan tentang bantuan negara kepada partai, kadang delegasi dari Indonesia menangkapnya sebagai bantuan pemerintah. „Langsung dibilang bantuan pemerintah. Padahal ndak ada itu bantuan pemerintah. Negara bukan pemerintah. Dana bantuan kepada partai di Jerman memang dari APBN, tapi tidak lewat Kemendagri, ketua DPR juga tidak ikut campur,” tandasnya.

Pipit juga pensiunan pegawai publik di Jerman, juga kerap mendapat pertanyaan dari delegasi di Indonesia tentang rumah sakit pemerintah dan sebagainya. „Saya bilang di Jerman nggak ada rumah sakit pemerintah. Yang ada rumah sakit publik. Tapi, rumah sakit publik inilah yang dikelola pemerintah.”

Dia pun mengungkapkan perbedaan penggunaan istilah negara dan publik. „Di Jerman itu, pegawai negara terbagi dua. Pertama, pegawai negeri atau PNS yang khusus untuk orang Jerman dan Uni Eropa. Kedua, pegawai publik yang lintas negara. Di UU ASN (Aparatur Sipil Negara) kita, sebutannya ada pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah berdasarkan perjanjian kerja (P3K). P3K itulah yang seperti pegawai publik. Tapi, istilah pegawai negeri dan pegawai pemerintah di kita memang masih kurang jelas,” katanya.

Statement ganjil

Pipit pun mengaku mencium keanehan membaca statement seorang pimpinan pansus di sebuah media online, setelah bertemu dengan seorang ahli politik Jerman, Profesor Andreas Ufen. Sang pimpinan Pansus, mengutip Ufen, mengatakan sistem Mixed Member Proportional (MMP) seperti yang diterapkan di Jerman merupakan sistem terbaik di dunia, tapi tidak cocok diterapkan di negara penganut sistem presidensial seperti Indonesia.

„Kalau bilang sistem MMP tidak kompatibel dengan sistem presidensial, saya yakin pimpinan Pansus itu salah mengerti. Andreas Ufen nggak mungkin bilang begitu. Karena di dunia ini yang menerapkan MMP bukan hanya negara penganut sistem parlementer seperti Jerman, tapi juga penganut sistem presidensial. Meksiko dan Venezuela yang menganut sistem presidensial kan pakai MMP,” kata Pipit.

Lagipula, sudah merupakan konsensus di antara para ahli pemilu dunia, termasuk disampaikan ahli pemilu Jerman, Profesor Dieter Nohlen, bahwa tidak ada sistem pemilu yang terbaik di dunia ini. Karena itu, para ahli pun merekomendasikan setiap negara demokrasi untuk mencari dan menerapkan sistem yang cocok.

Masih ada beberapa hal lagi yang dinilai Pipit agak janggal dari pemaparan anggota Pansus usai bertemu Andreas Ufen, yang masih perlu klarifikasi apakah itu merupakan pernyataan Ufen atau kekeliruan anggota Pansus menangkap substansi paparan Ufen.

Antara lain penjelasan pimpinan Pansus di media online soal sistem pemilu Jerman yang biasa disebut personalisierte Verhaeltniswahl, soal ambang batas lima persen, dan lain-lain. „Agaknya salah denger,” katanya.

Mengundang Andreas Ufen dari German Institute of Global and Area Studies (GIGA) untuk melakukan studi banding pemilu Jerman, juga dinilai Pipit tidak pas. Sebab, Ufen adalah seorang ahli politik. Di sebuah situs berita online, seorang anggota Pansus mengungkapkan bahwa Andreas Ufen adalah ahli Asia selatan.

Mestinya, kata Pipit, kalau Pansus memang mau bertanya tentang pemilu Jerman, bisa langsung ke Prof Dieter Nohlen atau Prof Friedrich Pukelsheim. Keduanya, kata Pipit, bahkan bukan hanya pakar pemilu Jerman, tapi pakar pemilu kaliber dunia.

Mengundang Dieter Nohlen dan Pukeslheim, kata Pipit, bisa dilakukan lewat Bundeszentrale fuer politische Bildung atau Lembaga Negara Urusan Pendidikan Politik Federal (LNUPPF). Kantor lembaga ini jaraknya hanya sekitar dua kilo meter dari KBRI. Dari Wisma KBRI, kediaman Duta Besar RI di Jerman dengan LNUPPF, jaraknya sekitar 7-8 kilometer.

„Kalau mengundang mereka melalui Lembaga Urusan Pendidikan Politik Federal ini malah gratis, karena memberikan pendidikan politik adalah tugas mereka. Lembaga saya, Watch Indonesia!, sering mengundang para ahli dari Lembaga Negara Urusan Pendidikan Politik Federal, dan gratis,” kata Pipit.

Pipit mengaku sering bersepeda dari kediamannya ke Lembaga Negara Urusan Pendidikan Politik Federal. „Jaraknya dari rumah saya sekitar empat kilometer. Saya sering ke sana karena lembaga ini sering mengeluarkan buku murah dan majalah gratis. Padahal di tempat lain, buku-buku tebal-tebal yang diterbitkan lembaga ini bisa dijual 30 sampai 40 euro,” kata Pipit.

Selain di tingkat federal, lembaga serupa juga ada di tingkat negara bagian. Namanya adalah Landeszentrale fuer politische Bildung, yang juga diisi oleh para pakar pemilu dan kepartaian.

Tiga hari yang absurd

Prof Andreas Ufen dari GIGA diundang untuk bertemu dengan Pansus RUU Pemilu di Wisma KBRI, atau kediaman dubes. Jaraknya sangat jauh, sekitar dua ratus kilometer. Sebab, GIGA terletak di negara bagian Hamburg. „Kalau jauh-jauh ngundang Prof Ufen dari Hamburg ke Berlin, kenapa nggak sekalian aja beliau diundang ke Nuswantoro (Indonesia),” kata Pipit.

GIGA ini pun, kata Pipit, merupakan sebuah NGO –seperti halnya Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD)– meskipun sebagian besar kegiatannya didanai negara. „Kalau mengundang Prof Andreas Ufen dari GIGA kemungkinan nggak gratis. GIGA sudah lama saya kenal, tulisan-tulisannya bagus. Tapi, kalau jagonya pemilu, yaa Dieter Nohlen, Pukelsheim, dan lain-lain.”

Menurut Pipit, kalau memang mau studi banding sistem pemilu Jerman, alokasi waktu tiga hari juga terlalu mepet. „Waktu tiga hari untuk belajar sistem pemilu Jerman itu absurd. Itu belum lagi soal jetlag. Kalau pesawat ke Jerman yang lewat Turki itu biasanya sampai di Berlin pada Minggu siang sekitar jam 10-11. Nggak mungkin langsung studi banding, karena jetlag dulu. Saya saja yang sering bolak-balik Jakarta-Berlin selalu jetlag, kok,” kata Pipit.

Selain itu, sistem pemilu Jerman itu tidak mudah dipahami, karena sangat berbeda dengan sistem pemilu lainnya. „Makanya ada yang bilang sistem pemilu Jerman itu adalah sistem proporsional nan personal. Sistem proporsional, tapi pilihan personal. Personalnya ini juga bukan ditentukan pemilihan dengan sistem mayoritas, tapi proporsional. Itu belum soal dapil, metode penghitungan, dan lain-lainnya,” katanya.

Kalau ingin benar-benar belajar sistem pemilu Jer man, kata Pipit, minimal Pansus mengalokasikan waktu sebulan. „Seminggu itu untuk jetlag, tiga minggu untuk benar-benar-benar belajar. Tapi, kalau mau belajar soal pemilu Jerman sebenarnya buka saja di internet, semua sudah ada. Ngapain studi banding,” katanya.

Pipit mengatakan, persoalan jetlag itu sering sangat mengganggu. „Istri saya dosen di Universitas Hamburg (sic!). Dia juga sering diminta tolong sama KBRI untuk menemani tamu dari Indonesia, termasuk anggota DPR. Istri saya sering merasa malu karena saat orang Jerman ngomong, susah payah diterjemahin, sebagian besar anggota DPR malah tidur,” kata Pipit.

Saat ini, berdasarkan informasi yang diperoleh Pipit dari KBRI Jerman, para anggota Pansus antara lain mengunjungi Mahkamah Konstitusi Jerman, Bundestag, dan Landeswahlleiter.

E-voting Jerman

Soal alasan Pansus studi banding ke Jerman karena mendengar telah ada rencana Jerman untuk mengevaluasi e-voting, juga dinilai Pipit merupakan kabar yang belum pernah didengarnya. „Sejak 2009 MK memutuskan tidak boleh menggunakan e-voting, sampai saat ini saya belum dengar mau diterapkan lagi,” kata Pipit.

Seperti diberitakan Republika sebelumnya, MK Jerman memutuskan membatalkan penggunaan e-voting pada 3 Maret 2009 lalu, antara lain karena bertentangan dengan prinsip pemilu yang bersifat publik. „(Penerapan e-voting) menutup hak setiap orang untuk mengawasi proses penghitungan suara, karena dilakukan secara otomatis oleh komputer yang hanya diketahui ahli komputer atau IT,” kata hakim konstitusi Jerman, Rudolf Mellinghoff, saat menghadiri konferensi Hakim MK se-Asia bertajuk „Konstitusionalitas E-Voting dan Peran MK” yang digelar di Jakarta, medio Juli 2010 lalu.


Tags: , , , ,


Share

Silakan berkomentar

You must be logged in to post a comment.

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami