Bongkar! – Alokasi Kursi DPR

Republika, 06 Desember 2016

www.watchindonesia.org/wp-content/uploads/hlm_teraju_center.pdf

OLEH HARUN HUSEIN

Alokasi kursi di Indonesia tidak mempunyai metodologi yang jelas.

RepublikaAmburadul. Satu kata ini bisa mewakili masalah alokasi kursi DPR dan segala dampak turunannya, seperti jomplangnya harga kursi antarprovinsi, jomplangnya harga kursi antardaerah pemilihan dalam satu provinsi, hingga terbentuknya daerah pemilihan-daerah pemilihan yang ajaib, seperti ‘dapil superman.’ Dalam teori sistem pemilu, alokasi kursi di Indonesia saat ini sarat malapportionment dan gerrymandering yang mencederai nilai-nilai demokrasi dan konstitusi,seperti kesetaraan dan keadilan.

Untuk menakar seberapa besar kadar kegawatan alokasi kursi atau apportionment di Indonesia, salah satunya bisa dilihat dari harga kursi termahal yang ternyata ada di Provinsi Kepulauan Riau. Sebuah provinsi di luar Jawa yang berpenduduk renggang. Harga kursi di sana sudah menyundul angka lebih dari 600 ribuan. Padahal, harga kursi di Pulau Jawa saja masih ada yang setengahnya, seperti harga kursi di Daerah Pemilihan Jawa Barat III (Kota Bogor dan Cianjur) yang hanya sekitar 300 ribu.

Apa maknanya? Kepulauan Riau sudah sangat under-represented atau kurang terwakili dalam sistem politik kita. Provinsi ini mengalami diskriminasi yang parah, yang bahkan lebih buruk dibanding perlakuan Orde Baru. Sebab, Orde Baru bahkan masih mempertimbangkan kesetimbangan penduduk Jawa-luar Jawa dengan memberi beberapa keistimewaan kepada luar Jawa, seperti yang diatur dalam No 15/1969 tentang Pemilihan Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.

Penjelasan Umum angka 6 UU No 15/1969 menyebutkan: „…Apabila dalam pemilihan umum dipergunakan dasar jumlah penduduk, maka jumlah wakil yang dipilih dari Pulau Jawa akan banyak melebih wakil dari luar Jawa. Mengingat luas dan potensi nya daerah-daerah di luar Jawa yang jumlah penduduknya kurang dari pada Jawa, maka perlu kiranya daerah luar Jawa tersebut mendapat perwakilan sesuai dengan kepentingan daerah itu.” Eksperimen alokasi kursi yang tak semata berdasarkan jumlah penduduk itu dimulai pada Pemilu 1971. Saat itu, Jawa dapat 182 kursi (50,56 persen), sedangkan luar Jawa 178 kursi (49,44 persen). Padahal, jumlah penduduk Jawa 73,8 juta (64,25 persen), sedangkan luar Jawa hanya 41 juta (35,75 persen). Bagaimana kursi saat itu dibagikan? Caranya, UU No 15/1969 menetapkan provinsi sebagai daerah pemilihan DPR, tapi setiap daerah tingkat II di provinsi tersebut harus mendapatkan minimal satu kursi (Pemilu Indonesia: Fakta, Angka, Analisis, dan Studi Banding)

Praktik alokasi seperti ini (yang merupakan campuran Kuota Hare/Largest Remainder dengan alokasi minimal satu kursi untuk setiap daerah tingkat II) berlangsung hingga Pemilu 1999 lalu. Dan, menurut catatan Republika, jumlah kursi Jawa-luar Jawa relatif berimbang di kisaran fifty-fifty sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1999. Pada Pemilu 1999, misalnya, kursi yang dialokasikan untuk Jawa berjumlah 234 (55,09 persen), sedangkan luar Jawa 228 (49,35 persen). Perbandingan jumlah penduduknya adalah: Jawa 121 juta (57,92 persen), luar Jawa 88 juta (42 persen).

Pada 2004, melalui UU No 12/2003 tentang Pemilu Legislatif, aturan main alokasi kursinya mengalami perubahan drastis. Alokasi kursi dilakukan berdasarkan konsensus „perimbangan yang wajar”, sedangkan daerah pemilihannya tak lagi provinsi dengan setiap Dati II dapat satu kursi, melainkan menjadi provinsi atau bagian-bagian provinsi. Kesenjangan penduduk Jawa-luar Jawa – meski tak disebutkan eksplisit dalam UU Pemilu – dijembatani dengan kuota maksimum-minimum. Daerah padat maksimum kuotanya 425 ribu per kursi, sedangkan daerah renggang 325 ribu per kursi.

Tapi, karena perimbangan yang wajar tak hanya soal kuota maksimum-minumum, melainkan juga kursi provinsi tidak boleh kurang dari pemilu sebelumnya, dan provinsi pemekaran dapat minimal tiga kursi, alokasi kursi saat itu complicated. Terjadi kesalahan alokasi atau malapportinment, meski belum terlalu parah, karena harga kursi tak terlalu senjang. Harga kursi paling mahal saat itu adalah Jawa Barat dengan 422.883, disusul Jawa Tengah (422.557), Jawa Timur (421.331), dan seterusnya. Makin ke luar Jawa, terutama ke timur, harga kursinya semakin murah. Cukup fair.

Seharusnya, kekeliruan diperbaiki pada pemilu berikutnya. Tapi, Panitia Khusus RUU Pemilu malah membuatnya semakin runyam. Pasalnya, UU No 10/2008 tentang Pemilu menambah 10 kursi DPR, sehingga menjadi 560 kursi. Tapi, kursi itu dialokasikan serampangan.

Praktik pada Pemilu 2004 yang mengiris kursi provinsi induk untuk diberikan kepada provinsi pemekarannya tidak lagi diterapkan. Itu misalnya terlihat di Sulawesi Selatan, yang kursinya tetap 24, padahal sebagian wilayahnya sudah dimekarkan menjadi Sulawesi Barat. Tiga kursi untuk Sulawesi Barat diambilkan dari 10 kursi tambahan, sedangkan tujuh lainnya dialokasikan untuk Jabar, Jatim, Jateng, Sumut, Lampung, Sumsel, dan Kaltim, berdasarkan pertambahan jumlah penduduk. Padahal, ada sejumlah provinsi yang nyatanyata diperlakukan tidak adil pada Pemilu 2004, tapi tak kebagian tambahan kursi. Tampaknya Pansus RUU Pemilu sudah menyadari bahwa alokasi tersebut bermasalah, sehingga merekapun membuang konsensus „perimbangan yang wajar” dari UU No 10/2008. Sebab, harga kursi saat itu memang mulai liar. Banyak provinsi, di luar Jawa pula, yang harga kursinya melejit. Kepulauan Riau, misalnya, harga kursinya sudah 501.424 atau jauh di atas kuota maksimum 425 ribu yang semula diperuntukkan bagi daerah penduduk padat. Sementara, harga kursi di Jawa saat itu paling tinggi hanya 450 ribuan per kursi. Selain itu, penurunan besaran dapil dari semula 3-12 kursi menjadi 3-10 kursi, membuat jumlah dapil membengkak dari semula 69 menjadi 77. Tapi, soalnya adalah ada beberapa dapil yang kursinya lebih dari sepuluh yang kemudian tak bisa dibereskan. Misalnya, Dapil Jabar IV yang terdiri atas Kota Bogor dan Kabupaten Bogor, yang semula punya 11 kursi. Jika dihitung berdasarkan jumlah penduduk, Kabupaten Bogor harus dapat sembilan kursi, sementara Kota Bogor hanya punya dua kursi. Padahal, tidak mungkin lagi menggabungkan Kota Bogor dengan Kabupaten Bogor.

Karena UU Pemilu tidak memungkinkan sebagian kecamatan di Kabupaten Bogor digabungkan dengan Kota Bogor agar syarat minimal tiga kursi terpenuhi, maka langkah yang diambil para politisi di Senayan saat itu benar-benar ’out of the box’. Mereka menggabungkan Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur menjadi Dapil Jabar III, sedangkan Kota Bogor menjadi Dapil Jabar V. Tapi, karena Kota Bogor dikelilingi sempurna oleh Kabupaten Bogor, maka para politisi di Senayan saling ledek menyebutnya sebagai „dapil superman”, karena hanya bisa dihubungkan dari udara. Hal yang sama terjadi dengan Dapil Kalsel II.

Peneliti Senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Pipit Kartawidjaja, mengatakan Dapil Jabar III, Dapil Kalsel II, serta sejumlah dapil yang melompat-lompat di tingkat DPRD, membuat Indonesia pantas disebut melakukan penistaan dapil. Karena, praktik tersebut melanggar prinsip-prinsip pembentuk dan dapil (districting), salah satunya dapil harus merupakan satu kesatuan wilayah yang utuh. Pembentukan dapil yang asal-asalan tersebut merupakan praktik gerrymandering. „Dapil paling ajaib ada di Indonesia,” katanya. Pada Pemilu 2014, kejadian serupa kembali terulang. Sebab, UU No 8/2012 tentang Pemilu, tidak melakukan perubahan apa-apa, sedangkan alokasi kursi dan dapil DPR tetap menjadi lampiran UU. Buntutnya, makin kacau balau. Harga kursi di Kepulauan Riau telah menjadi 631.863, disusul Riau (586.938), NTB (539.857), Sulawesi Tenggara (538.325), Lampung (532.583), Sulawesi Barat (529.721), Kalimantan Timur (519.369), Kalimantan Barat (519.369). Intinya, semakin banyak provinsi di luar Jawa yang berkursi lebih mahal ketimbang Jawa. Dapil-dapil ajaib pun tetap bertahan.

Lalu, sampai kapan alokasi kursi dan dapil akan dibiarkan amburadul? Pipit mengatakan praktik tersebut tak mungkin dibiarkan lebih lama lagi, karena bakal makin parah. Pipit mengatakan sangat terbuka kemungkinan bagi DPR dan pemerintah merealokasi ulang kursi DPR. Kebetulan ada pintu masuknya, yaitu penambahan provinsi baru Kalimantan Utara. Ada dua cara alokasi kursi yang disodorkan Pipit. Pertama, dihitung murni secara one person, one vote, one value (OPOVOV). Kedua, dialokasikan menurut cara Pemilu 1955 (lihat tabel Skenario I dan Skenario II).

Kedua skenario penghitungan tersebut diklaim Pipit lebih adil dan proporsional, yang dibuktikan pada rendahnya Indeks Disproporsionalitasnya. Loosemore-Hanby Index (LHI) skenario penghitungan yang murni OPOVOV adalah 4,58, sedangkan Indeks LHI skenario penghitungan ala Pemilu 1955 bahkan hanya 0,93. ■

Bersambung: Laporan berikutnya adalah alokasi kursi cara

 


 

PIPIT KARTAWIDJAJA, Peneliti Senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD)

Dapil Paling Ajaib Ada di Indonesia

 

„Terjadi penistaan dapil di Indonesia,” kata Peneliti Senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Pipit Kartawidjaja. Apa pula itu? Rupanya, adalah karena proses pembentukan daerah pemilihan (districting) di Indonesia yang ngawur. Dia mencontohkan Dapil Jabar III (Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur). Soalnya adalah, Kota Bogor itu dikelilingi secara sempurna (360 derajat) oleh Kabupaten Bogor. Meski demikian, Kota Bogor justru digabung kan menjadi satu dapil dengan Kabupaten Cianjur. Harga kursi antarprovinsi maupun harga kursi antardapil, juga dinilainya sangat jomplang dan jauh dari keadilan. Seberapa serius masalah alokasi kursi dan dapil di Indonesia? Berikut wawancara wartawan Republika, Harun Husein, dengan bekas Presiden Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Eropa ini:

Sekarang RUU Pemilu dibahas lagi. Seberapa urgen realokasi kursi DPR di tingkat provinsi dan daerah pemilihan dilakukan?

Urgen. Alasannya, dalam RUU Pemilu draf pemerintah, Pasal 1 sampai dengan 3 disebutkan bahwa asas pemilu adalah umum, yang bermakna nondiskriminatif, serta adil yang bermakna kesetaraan atau proporsionalitas keterwakilan penduduk. Adil dan proporsional dapat diukur secara matematis, misalnya, lewat perbandingan bilangan pembagi penduduk, Indeks Disproporsionalitas Loosemore-Handby (LHI) atau Indeks Gallagher (GHI atau LSq) dan Derajat Keterwakilan Pukelsheim. Nah, jika bertolak dari alokasi kursi DPR pada Pemilu 2014 lalu, yang menjadi lampiran UU No 8/2012 (dan juga menjadi Lampiran RUU Draf Pemerintah seperti tertulis pada pasal 156 ayat 5), maka lewat pengukuran-pengukuran di atas tersebut, akan terlihat satu ketidakadilan yang luar biasa.

Bisa berikan contoh?

Contoh sederhananya, pertama, jika dihitung dengan data penduduk KPU 9 Maret 2013, satu kursi di Kepulauan Riau (Kepri) mewakili 631.863 penduduk atau harga kursi termahal. Padahal, di Dapil Jabar III (Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur), hanya mewakili 323.220 penduduk yang merupakan harga kursi termurah. Alhasil, nilai penduduk Kepri cuma separuhnya nilai penduduk di Dapil Jabar III. Bahkan, di dalam satu provinsi pun terjadi ketidakadilan atau ketidakproporsionalan. Contohnya, Dapil Jabar VI (Kota Depok dan Kota Bekasi) yang merupakan tetangganya Dapil Jabar III, harga satu kursinya 615.250 penduduk. Hal yang sama terjadi dengan Dapil Banten I (Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak) yang satu kursinya mewakili hanya 373.460 penduduk, sedangkan Dapil Banten III (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan) harga kursinya 534.049. Kalau dialokasi ulang, akan menjadi begini (menunjukkan tabel, lihat tabel Jika Kursi Dapil Jabar dan Banten Dialokasi Ulang).

Mengapa bisa sedemikian jomplang perbedaan harga kursinya, padahal dapil-dapil itu berada dalam satu provinsi?

Yang mengherankan adalah, dalam UU Pemilu No 8/2012 atau draf RUU Pemilu sekarang tidak disebutkan alasan keterwakilannya yang jomplang itu. Berbeda dengan UU Pemilu No12/2003 yang menyebutkan alasan perbedaan keterwakilan (kuota minimum 325 ribu per kursi untuk daerah renggang dan 425 ribu per kursi untuk daerah padat –Red).

Apa lagi persoalan dalam alokasi kursi dan dapil di Indonesia?

Terjadi penistaan dapil. Dapil Jabar III (gabungan kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur) dan Dapil Kalsel II (Kota Banjarmasin, Kota Banjar Baru, Kabupaten Tanah Bumbu, Kabupaten Kota Baru, Kabupaten Tanah Laut) tergolong dapil yang terajaib di dunia. Sebab, dapil ini loncat. Kota Bogor digabung dengan Kabupaten Cianjur, padahal dikelilingi Kabupaten Bogor. Sedangkan, Kota Banjarmasin berada dalam wilayah Dapil Kalsel I. Dapil seperti ini digolongkan ke dalam gerrymandering (dapil tidak kompak). Pendapilan seperti ini bertentangan dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 5 Tahun 2013. Tapi, dalam hal ini, KPU tak punya kuasa atas pendapilan DPR (karena dapil ini tidak dibuat KPU, tapi langsung dibuat oleh Pansus RUU Pemilu DPR, dan dijadikan lampiran UU Pemilu).

Jumlah provinsi di Indonesia bertambah satu, yaitu Kalimantan Utara (Kaltara). Provinsi baru ini hasil pemekaran Kalimantan Timur, yang dalam pemilu berkursi delapan. Menurut Anda bagaimana alokasi kursinya nanti, apakah seperti praktik-praktik sebelumnya di mana provinsi baru dapat tiga kursi dari provinsi induknya, sehingga kursi Kaltim nanti tinggal lima?

Menurut RUU Pemilu draf pemerintah, tiga kursi Kaltara memang akan diambilkan dari Kaltim. Tapi, menurut saya ini tidak adil. Karena dulu, waktu Sulawesi Selatan dimekarkan, kursi provinsi baru Sulawesi Barat tidak diambil dari Sulsel. Buktinya kursi Sulsel tetap 24.

Ada gagasan menambah 10 kursi DPR menjadi 570 kursi, sehingga tiga kursi untuk Kaltara misalnya tidak diambil dari Kaltim, dan tujuh kursi lainnya diberikan kepada provinsi-provinsi-lainnya yang selama ini diperlakukan tidak adil …

Ada tiga tawaran. Pertama, kursi DPR bisa tetap 560, tetapi harus dialokasi ulang untuk seluruh provinsi dan dapil-dapil dalam provinsi. Dan, ketentuan-ketentuan tentang alokasi kursi harus dituliskan dalam undang-undang, seperti pada UU No 12/2003.

Kedua, di Indonesia ada semacam dalil yang menggelikan, bahwa kursi DPR suatu provinsi tidak boleh kurang dari pemilu sebelumnya. Ini mirip dengan dalil upah ndak boleh turun. Padahal, di mana-mana, kursi DPR naik-turun itu hal biasa, karena dalam kurun waktu tertentu dialokasi ulang, sesuai jumlah penduduk. Bahkan, turunnya jumlah kursi satu provinsi dapat dijadikan pemicu pembangunan agar jumlah penduduknya naik. Karena dalil nggak boleh berkurang dari sebelumnya itulah, maka demi keadilan, perlu penambahan kursi dari 560 menjadi 570.

Penambahan kursi akan menciptakan keadilan?

Harus diingat bahwa alokasi kursi DPR 2014- 2019 adalah alokasi kursi DPR 2009-2014 yang menjadi lampiran UU. Dalam UU Pemilu No 10/2008 tidak disebutkan metode alokasinya. Tahutahu sudah menjadi lampiran. Dan, harus diketahui pula bahwa penambahan kursi DPR 2009-2014 menjadi 560 adalah akibat 550 kursi DPR 2004-2009 masih kurang. Ke-550 kursi itu bisa dialokasikan dengan mengorbankan Papua, Maluku, Sulawesi Utara, NTB, Sumut, Sumsel, dan Lampung. Karena UU No 12/2003 menyebutkan bahwa kursi DPR tidak boleh kurang dari Pemilu 1999, maka Papua seharusnya punya 13 kursi, Maluku enam kursi, Sulawesi Utara tujuh kursi, Sumatera Utara 30 kursi, Sumatera Selatan 17 kursi, dan Lampung 18 kursi. Tapi, karena ke-550 kursi itu kurang, maka KPU main akal-akalan dengan menciptakan provinsi induk dan pemekaran, yang nggak ada dalam UU. Akibatnya, kursi Papua dikurangi dari 13 menjadi 10, karena kursinya diberikan untuk Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat); Maluku melorot dari enam menjadi empat, karena kursinya diberikan kepada Maluku Utara; dan, Sulawesi Utara turun dari tujuh menjadi enam lantaran diberikan kepada Gorontalo. Sedangkan NTB yang seharusnya 11, diambil satu kursinya untuk ditransfer ke Maluku. Itu karena Maluku protes, karena semula hendak diberi tiga kursi saja. Dalam kekalutan pengalokasian kursi itu, Aceh yang seharusnya memperoleh 12 kursi, secara diam-diam dihibahi satu kursi sehingga menjadi 13. Satu kursi ini diambil dari Sumsel, sehingga kursi Sumsel turun dari 17 menjadi 16. Selain itu, Sumut dan Lampung masing-masing kehilangan satu kursi: Sumut dari 30 menjadi 29, dan Lampung dari 18 menjadi 17. Nah, saat kursi ditambah menjadi 560 pada 2009, hutang tiga kursi dikembalikan kepada Sumut, Sumsel, dan Lampung. Tapi, hutang tujuh kursi kepada Papua, Maluku Utara, Sulut, dan NTB tidak dilunasi. Tujuh kursi malah dibagikan ke Jabar, Jateng, Jatim, dan Kaltim, masing-masing satu kursi, sedangkan tiga kursi lainnya untuk Sulawesi Barat. Di sini kita melihat Sulsel dianakemaskan, begitu juga dengan Jabar, Jateng, Jatim, dan Kaltim.

Sepuluh kursi tambahan nanti untuk siapa?

Karena alokasi kursi ini tidak diperbaiki pada Pemilu 2014, itu berarti DPR masih berhutang tujuh kursi. Yaitu Papua, tiga kursi; Maluku (dua kursi); Sulut (satu kursi); dan NTB (satu kursi). Jadi ketujuh kursi ini harus dikembalikan. Tiga kursi lainnya untuk Kaltara.

Kalau kursi tidak ditambah?

Kalau begitu 24 kursi Sulsel harus dikurangi tiga dan disetor kepada Sulawesi Barat. Karena, segenap wilayah Nusantara harus mengalami pengurangan kursi akibat provinsi induk dan pemekaran. Kalau caranya seperti ini, kursi DPR bahkan bisa turun dari 560 menjadi 557.

Kalau dilakukan realokasi total tetapi dibatasi pada 560, apakah itu solusi yang realistis?

Jika pembuat UU berkeinginan kursi tetap 560, tetap harus dilakukan realokasi untuk setiap provinsi dan dapil. Karena, di mana pun selalu dilakukan realokasi ulang dalam kurun waktu tertentu. Misalnya di Amerika Serikat setiap sepuluh tahun, sehingga lumrah ada negara bagian yang jumlah kursinya naik dan turun. Seperti New York yang pada tahun 1800 berkursi 17, dan naik menjadi 45 pada 1940, tapi sekarang hanya punya 27 kursi.

Bagaimana prinsip dan metodologi realokasi yang ditawarkan SPD?

Prinsip dan metodologi SPD dalam mengalokasikan kursi sederhana saja. SPD berangkat dari misi RUU Pemilu, yaitu adil dan proporsional, yang dapat diukur melalui alat pengukur yang jelas dan digunakan para pemerhati dan pakar pemilu dunia. Realokasi kursi DPR juga haruslah menyesuaikan dengan sistem presidensial. Presiden dipilih secara OPOVOV (one person, one vote, one value), sedangkan DPR yang merupakan satusatunya lembaga legislatif yang dominan, dipilih dengan nilai suara berbeda. Hal ini dapat menimbulkan konflik kelembagaan. Jika presiden dipilih secara OPOVOV, maka menurut saya selayaknya DPR juga OPOVOV. Paling tidak, seperti alokasi kursi tahun 1955. Sudah barang tentu DPD harus diberdayakan seperti dalam bikameralisme, bukan mandul seperti sekarang.

Realokasi ini sebaiknya dilakukan langsung oleh pembuat UU, atau dikerjakan KPU?

Sebaiknya oleh lembaga independen seperti KPU. Di Amerika Serikat dilakukan oleh United States Census Bureau, bukan oleh DPR. Prinsipnya, pembuat UU tidak merangkap jadi eksekutor.

Tapi mungkinkah realokasi kursi itu dibahas dalam waktu yang sangat terbatas, karena alokasi waktu untuk pembahasan RUU Pemilu hanya sekitar enam bulan atau waktu persiapan pemilu yang tahapannya sudah mulai berjalan setengah tahun mendatang? Apalagi gejolak politiknya mungkin cukup besar …

Mungkin saja dan harus. Sebab sebelum sistem pemilu berjalan, alokasi kursi harus dilakukan ter lebih dahulu. Untuk ini, SPD sudah memiliki program pengalokasian kursi, sehingga dalam waktu singkat, alokasi kursi DPR dapat dilihat hasilnya. Hanya pembuat UU harus menetapkan syarat-syaratnya.

Kalau kemudian berhasil dilakukan realokasi total, apakah itu juga nanti mengharuskan dapil juga ditata ulang, atau dapil bisa menjadi PR untuk dikerjakan pada pemilu-pemilu mendatang mengingat keterbatasan waktu?

Jika realokasi total, maka bisa saja dapil tetap seperti sekarang. Tapi jika dapil hendak dialokasi ulang, maka pembentukan dapil dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 5 Tahun 2013 patut diadopsi dan dimuat dalam UU. Yang penting, pembuat UU harus menetapkan syarat-syaratnya. Program produk SPD mampu menjabarkannya dalam waktu singkat dan menawarkan berbagai varian pendapilan.


Tags: , , , , ,


Share

Silakan berkomentar

You must be logged in to post a comment.

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami