Mahalnya Kursi Luar Jawa

Republika, Teraju, 16 April 2013

Teraju (PDF)

Kursi luar Jawa underrepresented, Jawa justru overrepresented.

Oleh Harun Husein

RepublikaKetimpangan harga kursi kian menjadi-jadi dalam Pemilu 2014 mendatang. Semakin banyak kursi mahal diluar Jawa. Sedangkan, harga kursi di Jawa yang padat, justru lebih murah, di bawah kuota rata-rata, alias overrepresented.

Keganjilan tersebut terungkap setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) memasukkan jumlah penduduk untuk masing-masing provinsi DPR berdasarkan data Data Agregat Kependudukan Per Kecamatan (DAK2) yang berasal dari Kementerian Dalam Negeri. Harga kursi termahal ada di Kepulauan Riau, sebuah provinsi baru di Sumatra.

Kepulauan Riau adalah provinsi yang paling teraniaya dan paling underrepresented dalam urusan alokasi kursi DPR dalam dua pemilu terakhir. Tapi, kondisinya pada Pemilu 2014 semakin parah. Kuota setiap kursi di Kepulauan Riau untuk Pemilu 2014 mendatang adalah 631.863 jiwa, atau 140,51 persen dibanding kuota kursi rata-rata nasional. Padahal, harga kursi di provinsi-provinsi terpadat di Jawa, kebanyakan berada di bawah kuota kursi rata-rata atau overrepresented. Jawa Barat, misalnya, hanya 97,53 persen dari kuota rata-rata (lihat: Kursi Mahal, Kursi Murah, dan Dampaknya).

Dari 33 provinsi di Indonesia, ada 17 provinsi yang harga kursinya di atas kuota rata-rata. Dan, sebagian besar ada di luar Jawa. Setelah Kepulauan Riau, urutan berikutnya ditempati Riau, NTB, Sulawesi Tenggara, Lampung, Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Sulawesi Tengah, Bali, Maluku, DKI Jakarta, dan Banten.

Kondisi ini berbeda jauh dibanding pada Pemilu 1999 maupun 2004. Saat itu, kursi termahal masih berada di Jawa. Wajar belaka saat itu Jawa underrepresented, karena memang ada subsidi untuk luar Jawa yang berpenduduk renggang. Sebab, bila tidak, DPR akan dikuasai oleh wakil rakyat dari Pulau Jawa, yang mengakibatkan luar jawa yang wilayahnya demikian besar, kurang terwakili.

Kebijakan seperti inilah yang diterapkan sejak era Orde Baru, lewat Undang-Undang (UU) No 15/1969 tentang Pemilu, yang dilanjutkan UU Pemilu di era reformasi, seperti UU No 3/1999 tentang Pemilu dan UU No 12/2003 tentang Pemilu. Bahkan, kebijakan ini pula yang diterapkan pada Pemilu 1955, dengan menyubsidi kursi tiga provinsi yang penduduknya dibawah kuota minimal tiga kursi.

Tidak terlalu jelas jumlah penduduk yang digunakan sebagai basis data alokasi kursi pada Pemilu 1999 lalu, karena saat itu pun alokasi kursinya masih mempertimbangkan jumlah kabupaten/ kota – setiap kabupaten/kota mendapat minimal satu kursi. Tapi, untuk mengecek harga kursi yang diberikan kepada setiap provinsi, Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan pernah menghitungnya, dengan mengombinasikan dua sumber data, yaitu hasil Sensus BPS dan keterangan Ketua Subkomisi KPU yang mengurus alokasi kursi.

Hasilnya, pada Pemilu 1999, semua provinsi di Jawa mempunyai kursi lebih mahal ketimbang luar Jawa. Sepuluh provinsi dengan harga kursi termahal saat itu adalah Jawa Barat (534.936), Jawa Timur (523.080), Jawa Tengah (520.482), Sumatera Utara (485.402), DKI Jakarta (539.146), Sulawesi Selatan (335.817), Lampung (496.893), Sumatera Selatan (519.991), Riau (433.010), Sumatera Barat (303.495).

Pada Pemilu 2004, harga kursi di Jawa juga lebih mahal. Itu terlihat dalam penghitungan menggunakan data Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sepuluh besar provinsi dengan harga kursi termahal adalah: Jawa Barat (422.883), JawaTimur (421.331), Jawa Tengah (422.557), Sumatera Utara (410.013), Banten (408.086), DKI Jakarta (410.574), Sulawesi Selatan (343.056), Lampung (408.575), Sumatera Selatan (408.182), dan Riau (402.281).

Tapi, tiba-tiba, kondisi itu terbalik pada Pemilu 2009. Kursi-kursi di luar Jawa bak terkena wabah inflasi, langsung melejit tak karuan. Bahkan, sejumlah keganjilan kemudian menyertai. Saat Republika membandingkan harga kursi dua pemilu terakhir, misalnya, harga kursi di Papua naik lebih dari dua kali lipat, dari 209.019 menjadi 469.359. Kasus serupa terjadi dengan Sulawesi Barat. Mengapa harga kursinya naik sedemikian ekstrem? Rupanya, data penduduknya naik dua kali lipat. Papua, misalnya, dari 2.090.191 pada Pemilu 2009, menjadi 4.224.232 pada Pemilu 2014. Entah apa yang terjadi dengan Papua. Adakah terjadi baby booming atau transmigrasi besar-besaran? Yang jelas, data penduduk yang digunakan untuk menghitung berasal dari KPU (lihat Harga Kursi Dua Pemilu).

Semua persoalan, keganjilan, keanehan ini bermuara pada alokasi kursi yang mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, yang ironisnya dicantumkan di berbagai undang-undang pemilu. UU No 8/2012 tentang Pemilu, misalnya, masih mencantumkan asas persamaan, derajat keterwakilan (proporsionalitas) yang lebih tinggi. Bahkan, ini termasuk misi yang hendak dicapai oleh UU Pemilu.

Tapi, di saat bersamaan, UU Pemilu juga melanggar prinsip-prinsip tersebut, karena lampiran UU Pemilu mencantumkan alokasi kursi DPR untuk setiap provinsi dan daerah pemilihan, yang tidak lagi didasarkan pada data penduduk. Dan itu sudah terjadi dalam dua pemilu terakhir. Pembuat undang-undang langsung main comot data alokasi kursi pemilu sebelumnya, dan mengesahkannya. Mereka menutup mata terhadap data penduduk, yang seharusnya merupakan basis pembagian kursi.

Pakar daerah pemilihan dan alokasi kursi, Pipit R Kartawidjaja, menuding anggota DPR yang sekarang diam melihat penurunan harga kursi di Jawa, dan melejitnya harga kursi luar Jawa. Padahal, kata dia, ketika dulu harga kursi di Jawa hendak dibuat lebih mahal dibanding luar Jawa, banyak politikus yang meributkannya. „Sekarang kok pada diem?” sindirnya.

Persoalan ini, kata Pipit, jelas-jelas merupakan diskriminasi. Sebab, nilai manusia Indonesia di luar Jawa semakin rendah ketimbang nilai manusia di Jawa. Anehnya “„Di pilpres barulah nilai suara orang Jawa dan luar Jawa sama”,” katanya.

 


 

Kursi Mahal, Kursi Murah, dan Dampaknya

Oleh Harun Husein

Kesetaraan atau equality adalah salah satu prinsip penting demokrasi. Prinsip ini juga mendasari pengalokasian kursi untuk provinsi, kabupaten/kota, kecamatan maupun alokasi kursi tingkat daerah pemilihan (dapil) atau distrik pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Namun, alokasi kursi di Indonesia, masih mengabaikan prinsip-prinsip universal tersebut, baik dalam alokasi kursi ditingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, maupun alokasi kursi di tingkat dapil. Akibatnya, muncullah ketimpangan harga kursi baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan, maupun tingkat daerah pemilihan. Berikut data hasil penghitungan Pipit R Kartawidjaja dan Republika:

Ketimpangan Harga Kursi Antar Provinsi

Alokasi kursi untuk setiap provinsi maupun daerah pemilihan DPR tidak mengalami perubahan pada Pemilu 2014 mendatang. Karena, pembuat undang-undang melakukan copy paste saja terhadap alokasi kursi yang ada di lampiran UU No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif. Alokasi kursi untuk setiap provinsi dan dapil tersebut kembali menjadi lampiran UU NO 8/2012, kendati jumlah penduduk berubah. Akibatnya, ketimpangan harga kursi pun kian menjadi-jadi. Kondisi ini jelas tidak proporsional, yang jelas pula bertentangan dengan sistem pemilu Indonesia, yaitu system proporsional. Sistem ini dipilih karena adanya keinginan derajat keterwakilan yang lebih tinggi.

Lantas, seberapa timpang kondisinya saat ini? Fakta menunjukkan harga kursi di luar Jawa justru lebih mahal dibanding harga kursi di provinsi-provinsi di Jawa yang berpenduduk padat, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

Kepulauan Riau, misalnya. Harga setiap di sana adalah 631.863 jiwa atau 40,51 persen di atas harga kursi rata-rata (449.686 jiwa per kursi) di Indonesia. Padahal, Kepulauan Riau termasuk provinsi berpenduduk renggang, di luar Jawa pula. Kepulauan Riau adalah provinsi yang paling underrepresented atau diperlakukan tidak adil dalam alokasi kursi DPR di Indonesia. Padahal, di Jawa yang berpenduduk padat, harga kursinya sebagian besar masih di bawa rata-rata nasional. Jawa Barat, misalnya, hanya 97,53 persen di bawah rata-rata nasional; Jawa Timur (95,26 persen); Jawa Tengah (94,09 persen). Provinsi-provinsi ini masuk kategori overrepresented.

Tapi ketimpangan bukan hanya terjadi di antara provinsi-provinsi yang berjauhan. Provinsi yang berdampingan dan berbatasan, juga mempunyai harga kursi luar biasa jomplang. Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa TenggaraTimur (NTT), misalnya. Di NTB, harga satu kursinya 539.857 jiwa, sedangkan di NTT hanya 411.069. Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat juga demikian. Harga kursi di Sulawesi Barat mencapai 529.721 jiwa, sedangkan Sulawesi Selatan hanya 390.338. Padahal, Sulawesi Barat merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari Sulawesi Selatan.

 


 

Alokasi Kursi Diskriminatif

 

Pakar daerah pemilihan, Pipit R Kartawidjaja, menuding alokasi kursi DPR membeda-bedakan nilai manusia Indonesia. Orang Kepulauan Riau yang dinilai paling rendah dibanding orang dari provinsi lain di Indonesia. Kasus serupa pun disebutnya terjadi dalam alokasi kursi DPRD. Penulis buku Akal-kalan Daerah Pemilihan dan Matematika Pemilu ini, mengatakan semua itu terjadi justru karena tidak dipatuhinya prinsip proporsionalitas, derajat keterwakilan yang tinggi, persamaan nondiskriminasi yang termaktub tertutama dalam penjelasan UU No 8/2012 Tentang Pemilu Legislatif. Berikut penjelasan Pipit kepada wartawan Republika, Harun Husein:
 
 Alokasi kursi yang dibuat DPR maupun KPU tidak beres. Perlukah dibentuk badan khusus yang bertugas mengalokasikan kursi hingga membuat peta dapil?

Sebenarnya KPU saja sudah cukup. Yang penting, diikhtiarkan profesional. Yang lemah di Indonesia itu pengawasan. Di mancanegara, biasanya masyarakat, LSM, partai, atau pemda bersangkutan yang protes atau menggugat, misalnya ke KPU langsung atau ke MK (kalau ada ketidakberesan).

Jika proses alokasi kursi dan proses districting diserahkan kepada KPU, apakah KPU yang mengurus semua atau sebagian didelegasikan ke KPU daerah?

Sebaiknya KPU pusat ngurusin (alokasi kursi dan districting) nasional, KPU daerah ngurusin dapil DPRD sesuai dengan otonomi daerah.

Di AS, misalnya, alokasi kursi DPR Nasional (House of Representatives) dilakukan oleh Biro Sensus (US Census Bureau), setiap sepuluh tahun sekali.

Di Jerman, data penduduk itu ya urusannya Badan Pusat Statistik untuk pusat, atau Badan Statistik Daerah. Di Jerman, belum lama ini ada keputusan bahwa yang namanya penduduk itu nggak termasuk balita. Lagian, alokasi kursinya bukan menjadi ketetapan seperti di Indonesia, yang kemudian dilampirkan dalam UU Pemilu UU No 10/2008 dan UU No 8/2012.

Adapun soal pembentukan dapil, di Inggris dilakukan oleh Boundary Commissions yang nggak kenal pusat, tapi pecah ke empat wilayah. Ada Boundary Commission for Scotland, Boundary Commissions for England, for Wales, dan untuk Irlandia. Lembaga ini berdiri sejak 1917, ad hoc, dan bersifat tetap sejak 1944. Keempat komisi ini mengecek dapil-dapil untuk pemilu daerah dan pusat setiap 8-12 tahun sekali. Tolok ukur di Inggris juga bukan penduduk, melainkan pemilih.

Dari alokasi kursi DPR, kursi termahal ada di Kepulauan Riau, provinsi baru, di luar Jawa pula. Menurut Anda, seberapa tragis kasus Kepulauan Riau ini?

Jumlah penduduk RI itu 251.824.296 juta berdasarkan Surat Keputusan KPU 9 Maret 2013. Dengan jumlah kursi DPR 560, maka kuota nasionalnya 449.686, alias seorang anggota DPR idealnya mewakili 449.686 penduduk. Tapi, harga kursi termahal itu di Kepulauan Riau (631.863), menyusul provinsi Riau (586.938), kemudian Nusa Tenggara Barat (539.857). Ketiga daerah ini disebut underrepresented alias keterwakilan kecut. Terhadap harga kursi rata-rata nasional (449.686), harga kursi di kepulauan Riau itu 38,17 persen lebih mahal.

Sebaliknya, harga kursi termurah ditemui di Papua Barat (363.724), Kalimantan Selatan (376.895), Aceh (385.787) dan Sulawesi Selatan (390.338). Daerah-daerah ini overrepresented alias keterwakilan sumringah. Mencolok adalah harga kursi di kepulauan Riau (631.863) yang lebih mahal 62 persen dibanding harga kursi di Sulawesi Selatan (390.338), atau 73,72 persennya terhadap Papua Barat (363.724).

Bagaimana dengan provinsi yang berdekatan?

Misalnya, kursi di NTB 539.857, underrepresented. Itu 31,33 persen lebih mahal ketimbang di NTT (423.096), overrepresented. Yang mencolok itu perbandingan harga kursi di Sulawesi Selatan (390.338) dengan tetangganya Sulawesi Barat (529.721) atau Sulawesi Tenggara (538.325). Kursi di Sulbar itu 35,71 persen lebih mahal ketimbang di Sulsel, kursi di Sulawesi Tenggara bahkan 37,91 persen lebih mahal ketimbang di Sulsel.

Ada batas toleransi yang disepakati dalam soal seperti ini?

Di Jerman perbedaan jumlah penduduk antar dapil plus minus 15 persen dari kuota rata-rata. Di AS, perbedaan jumlah pemilih antar dapil itu maksimal satu persen. Selandia Baru mengizinkan deviasi lima persen dari rata-rata. Di Irlandia, perbedaan antar dapil maksimal 17 persen. Yang enak di tanah ‘kumpeni’ Belanda. Di sana cuma di kenal dapil nasional (satu wilayah negara menjadi satu dapil –Red).

Karena Indonesia menganut prinsip-prinsip proporsionalitas, derajat ke terwakilan yang tinggi, persamaan nondiskriminasi, maka jomplangnya perbedaan kursi seperti di Kepulauan Riau, NTB, Sulbar, itu tidak konstitusional.

Yang paling tragis dari semuanya ini adalah ketika memilih presiden, harga pemilih sama, gak ada perbedaan Jawa dan non-Jawa. Tapi pas untuk pemilihan DPR, perbedaannya sampai di dalam pulau sendiri.

Seperti apa sebenarnya alokasi kursi yang benar, misalnya untuk provinsi/negara bagian, yang berlaku universal?

Pertama, mesti jelas dulu maunya apa. Alokasi kursinya berdasarkan penduduk atau pemilih. Alokasi kursinya mengenal malapportionment atau menganut asas proporsionalitas, derajat keterwakilan lebih tinggi, dan persamaaan nondiskriminatif. Contoh kongkret UU Pemilu No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif bilang menganut asas-asas proporsionalitas, derajat keterwakilan lebih tinggi dan persamaan non-diskriminatif, dan sekaligus juga perbedaan Jawa-luar Jawa. Mana yang benar? Yang mengacu pada prinsip-prinsip proporsionalitas, derajat keterwakilan yang tinggi, persamaan nondiskriminasi, alokasi DPR berangkat dari OPOVOV (one person, one vote, one value). Meskipun begitu, biasanya, satu provinsi diberi kursi minimal. Di AS misalnya minimal satu kursi, seperti negara bagian Montana.

Kedua, mesti jelas dulu konsep pendapilan. Untuk DPR, misalnya, legislator terpilih itu legislator provinsi ataukah legislator dapil? Jika legislator dapil, OPOVOV-nya dibagi ke 77 dapil Indonesia. Jika legislator provinsi, maka ya kursi ke provinsi, dan dapil hanya berfungsi buat penempatan caleg. Dalam hal sistem proporsional, nggak tergantung pada sistem tertutup/tetap atau terbuka macam di Denmark atau Pemilu Indonesia 1999.

Ketiga, lantaran diketahui terdapat perbedaan keterwakilan penduduk antar dapil dalam satu provinsi, maka proporsionalitasnya diikhtiarkan pada penghitungan perolehan kursi parpol. Misalnya, di Denmark dengan legislator dapil, ada 40 kursi yang tidak dipertandingkan, melainkan dibagikan pada akhir penghitungan suara. Gunanya buat memproporsionalkan hasil pemilu. Atau, di Nikaragua, yang sisa kursinya dibagikan pada tingkat nasional. Karena itu, di kedua negara dikenal legislator dapil dan legislator provinsi atau legislator nasional —dalam hal provinsi berdasarkan daftar partai provinsi, dalam hal nasional berdasarkan daftar partai nasional.

Keempat, untuk sistem pemilu proporsional Jerman, karena mengaku berasas OPOVOV, berlaku sebagai berikut: perolehan suara parpol setiap provinsi yang dijadikan ukuran. Bisa jadi satu provinsi kursinya berkurang dari pemilu sebelumnya, sebab tingkat partisipasi pemilih rendah. Jadi, dari awalnya kursi provinsi nggak dipatok.

Kelima, Mahkamah Agung Swiss, misalnya menganggap tidak konstitusional apabila dalam satu wilayah administrasi pemerintahan, besaran dapil berbeda terlalu jomplang. Misalnya antara 3-12. Sebab, dalam setiap dapil terdapat threshold terselubung. Makin kecil dapilnya, makin kecil peluang parpol kecil buat meraup kursi. MA Swiss bilang, terdapat perbedaan kesempatan kalau kursi di dapil terlampau jompang. Karena itu, di Swiss buat menanggulangi perbedaan besaran dapil itu diterapkan sistem biproporsional dalam mengalokasi kursi perolehan parpol. Proporsional dalam dapil dan proprosional dalam satu wilayah administrasi pemerintahan.

Dalam alokasi kursi di Indonesia, sejak Orde Baru sangat mempertimbangkan unsur Jawa Luar Jawa. Apakah pertimbangan wilayah seperti ini masih perlu tetap dipertahankan, atau cukup memberi kursi minimum saja kepada provinsi yang kalau dihitung secara kuota ternyata kurang (misalnya tiga kursi seperti era 1955) dan lainnya dihitung OPOVOV secara ketat?

Sebenarnya, konsep seperti pemilu 1955 bagus diterapkan. Konsep Orde Baru, unsur Jawa-luar Jawa itu pada intinya setiap wilayah administrasi pemerintahan memiliki wakil. Cerita Sumbar dapat 14 kursi tahun 2004 dan sekarang itu, karena di sana ada 14 kabupaten. Jadi, dalam pemilu 2004 harus dikasih kursi 14, meski kuotanya di bawah 325.000. Jadi, Sumbar dengan kuota 319.000 dianakemaskan. Begitu juga misalnya NTT. Alhasil, konsep Orde Baru itu keterwakilan berdasarkan wilayah dan penduduk. Masak, sudah 60 tahun merdeka kok ada perbedaan nilai manusia Indonesia?

DPR itu sebenarnya perwakilan penduduk, bukan wilayah. Dengan adanya DPD saat ini, maka konsep Orde Baru harus tutup buku. Tentunya, DPD harus diberdayakan seperti di negara-negara yang menganut bikameralisme. Misalnya, boleh membuat RUU, mendebat RUU jebolan DPR dan pemerintah. Dihitung OPOVOV secara ketat barangkali sulit. Ntar ada provinsi yang nggak kebagian kursi. Setel AS bagus, di sana disebut setiap provinsi minimal satu kursi. Bahkan, yang 1955 pun nggak jelek. Setiap provinsi minimal dapat tiga kursi dan sisanya OPOVOV, alokasi kursinya jauh lebih proporsional ketimbang yang sekarang.

Apa menurut Anda yang sebaiknya dilakukan provinsi-provinsi yang kursinya terlalu mahal atau underrepresented? Mempersoalkan UU Pemilu ke MK?

Memang kebiasaan di mancanegara begitu. Yang nggugat ke MK itu ya masyarakat setempat, LSM, parpol, bahkan pemdanya. Dengan menggugat, artinya membikin demokrasi jadi hidup. Lain kali, DPR dan pemerintah mesti cermat kalau bikin UU.

Selain jomplang di tingkat provinsi, alokasi kursi juga jomplang untuk tingkat dapil. Apakah itu berarti pula perlu redistricting, dan seberapa mendesak agenda itu dilaksanakan?

Kalau jomplang tentu harus alokasi ulang. Juga kursi DPR mesti alokasi ulang. Apalagi, kriterianya nggak jelas dalam UU No 8/2012. Sebaiknya ya sekarang juga. Ini menyangkut keterwakilan penduduk, dan dampaknya ke perolehan kursi partai, yang kian pelit gara-gara ambang batas parlemen itu. Sebab, sebagai contohnya, Sulawesi Selatan itu jelas dianakemaskan. Di situ ada parpol yang selalu diuntungkan. Keuntungannya jadi lebih, oleh karena diberlakukan ambang batas 3,5 persen. Ambang batas 3,5 persen itu kiat menggelembungkan diri sendiri dalam DPR. Ini tentu berdampak buat ‘pesangon’ dalam hal pencalonan presiden yang mau dibikin 20 persen suara DPR.

Ambang toleransi harga kursi setiap dapil berapa? Apakah sama dengan ambang toleransi harga kursi antarprovinsi/negara bagian?

Di Indonesia yang ngaku-ngaku proporsional itu diberlakukan dua ambang batas. Satunya yang disebut PT 3,5 persen, yang lainnya terselubung, gaib, yang terdapat di setiap dapil. Sebenarnya, jika sudah diberlakukan ambang batas parlemen 3,5 persen, tidak perlu lagi penghitungan suara habis di dapil. dapil hanya diperlukan untuk pencalonan. Contohnya pemilu 1999. Keuntungannya, karena dapil itu hanya buat pencalonan, setiap caleg harus memenangkan parpolnya, bukan diri sendiri. Cara ini dipakai di Denmark. Atau dapil boleh jomplang dan dihitung sampai habis, tapi diterapkan penghitungan biproporsional. 


Tags: , , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami