Dulu Akal-Akalan, Kini Asal-Asalan

Republika – Teraju, 07 Mei 2012

Alokasi Kursi dan Dapil

 oleh Harun Husein

RepublikaAlokasi kursi Pemilu 1955 jauh lebih fair ketimbang alokasi kursi Pemilu 2004, 2009, maupun 2014. Momentum itu hilang sudah. Revisi Undang-Undang Pemilu Legislatif yang berlangsung dua tahun, gagal membereskan alokasi kursi DPR untuk setiap provinsi dan daerah pemilihan. Hasil akhirnya bak drama yang berakhir antiklimaks: kembali menggunakan alokasi kursi dan dapil seperti Pemilu 2009, tanpa perubahan sama sekali, alias copy paste. Semua karena masih kuatnya keinginan para politikus partai untuk mendapatkan hak-hak istimewa (previlise).

Alokasi kursi dan pembentukan dapil cara lama diwarisi begitu saja, kendati sarat pelanggaran prinsip-prinsip penting pemilu dan demokrasi, seperti proporsionalitas dan kesetaraan (equality). Alokasi kursi dan pembentukan dapil cara lama, masih dijejali praktik malapportionment, gerrymandering, dan masalah-masalah lain.

Kekisruhan dimulai sejak Pemilu 2004. Alokasi dilakukan tanpa metodologi yang jelas. Hanya berbekal konsensus politik bernama »perimbangan yang wajar«. Konsensus yang terbukti tidak bisa diterapkan, kecuali dengan melakukan »akal-akalan«, yang makin disempurnakan kerumitannya pada Pemilu 2009 karena alokasi kursi dilakukan »asal-asalan« (lihat: Perimbangan yang Wajar Hingga Copy Paste di hlm 28).

»Tradisi alokasi kursi« ini, diledek oleh pakar matematika pemilu, Pipit R Kartawidjaja, sebagai alokasi berdasarkan wangsit. Dia menuding alokasi kursi cara ini, justru melanggar misi yang termaktub di Penjelasan UU Pemilu baru, yaitu menciptakan derajat keterwakilan yang lebih tinggi. »Mana derajat keterwakilan yang lebih tinggi? Yang jelas, lebih bejat ketimbang 2004,« kata Pipit yang juga aktivis Watch Indonesia! di Berlin, kepada Republika, lewat surat elektronik.

Umumnya negara demokrasi memang menerapkan metodologi yang jelas untuk mengalokasikan kursi DPR (apportionment) ke setiap provinsi atau negara bagian, dengan penekanan pada jumlah penduduk. Kendati, tetap menerapkan afirmasi berupa kursi dalam jumlah tertentu kepada kawasan yang jumlah penduduknya sangat kecil, tak mencapai kuota kursi, atau minoritas.

Amerika Serikat, misalnya, setelah bergelut hampir dua ratus tahun, akhirnya menerapkan metode Divisor varian Huntington Hill untuk alokasi kursi DPR (House of Representatives). Jerman menggunakan Metode Divisor varian Webster/Sainte Lague untuk alokasi kursi anggota DPR atau Bundestag. Basis data kependudukan yang mereka gunakan rata-rata adalah data sensus penduduk, yang diperbaharui 10 tahun sekali. Dengan metodologi dan basis data yang jelas, alokasi kursi pun dan bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, tidak sekadar berdasar bulat-lonjong kesepakatan para politikus pembuat undang-undang.

Kesalahan alokasi kursi (malapportionment) di Indonesia, memang hanya dapat diuji lewat metodologi yang jelas. Ada banyak metodologi yang bisa digunakan. Kemitraan dan Perludem telah melakukan simulasi alokasi kursi dengan Metode Webster dan Metode Kuota Hare. Dan, penyimpangan itu memang sangat nyata, antara lain terlihat dari adanya sejumlah provinsi yang kekurangan kursi atau underrepresented, dan cukup banyak yang kelebihan kursi atau overrepresented.

Previlise

Konsensus »perimbangan yang wajar« ––yang dampaknya masih besar untuk alokasi kursi Pemilu 2014–– memang terlalu banyak maunya. Seharusnya, cukup memberi jatah minimal tiga kursi untuk provinsi yang kekurangan penduduk, atau provinsi baru hasil pemekaran. Tapi, konsensus itu juga memuat previlise: alokasi kursi untuk setiap provinsi tak boleh kurang dibanding alokasi pada pemilu sebelumnya. Ini mengabaikan fakta bahwa penduduk provinsi bisa bertambah dan berkurang.

Berdasarkan simulasi Republika, pada 2004 lalu, sekitar 458 kursi yang dialokasikan dengan klausul previlise itu dan 18 kursi dialokasikan sebagai afirmasi untuk provinsi pemekaran yang penduduk nya tak mencapai kuota minimum. Selebihnya dialokasikan melalui Metode Kuota yang dipelintir dan cara lain yang tak jelas parameternya.

Masih untung, KPU periode 2001-2007 lalu, nekad mengiris kursi provinsi induk pemekaran dan memberikannya kepada provinsi pemekaran, sehingga kesenjangan sedikit berkurang. Itu pun dilakukan karena kepepet. Ada 18 kursi yang diiris.

Tapi, menjelang Pemilu 2009, alokasi kursi diambil alih oleh DPR. Kebijakan KPU itu dikoreksi. Previlise kembali diberlakukan. Itulah yang terjadi dengan Sulawesi Selatan, yang tetap dapat 24 kursi, kendati sebagian penduduknya telah diambil oleh Sulawesi Barat. Dilanjutkan dengan pembagian tambahan kursi kepada tujuh provinsi lainnya, yang membuang sama sekali prinsip kuota. Pembagian kursi dilakukan berdasarkan angka absolute pertambahan penduduk, bukan lagi rasio penduduk terhadap kursi. Buntutnya, harga kursi pun menjadi liar. Kuota kursi di Kepulauan Riau, misalnya, mencapai 501.454, jauh di atas kuota kursi di Jawa yang padat.

Kebanyakan negara demokrasi, tidak menganut previlise yang justru mencederai demokrasi. Pemberian previlise, biasanya hanya dilakukan sebagai afirmasi. Misalnya untuk daerah berpenduduk renggang, atau kalangan minoritas.

Indonesia bahkan sudah menerapkan cara itu pada Pemilu 1955 lalu, dengan memberi masing-masing tiga kursi kepada tiga provinsi yang jumlah penduduknya kurang dari kuota minimal tiga kursi, yaitu Maluku, Kalimantan Timur, dan Irian Barat. Saat itu kuota kursi adalah 300 ribu. Setelah tiga provinsi itu beres, untuk 13 provinsi lainnya, kursi dihitung secara one person, one vote, one value (OPOVOV).

Di Amerika, setiap negara bagian minimal mendapat satu kursi. Di Kanada, setiap provinsi minimal mendapat kursi DPR sesuai jumlah senator. Di Prancis, minimal dua kursi. Setelah itu, kursi selebihnya dihitung berdasarkan jumlah penduduk.

Lantas, bagaimana dampaknya jika konsensus kursi minimal itu diberlakukan lagi, dan kursi selebihnya dihitung secara OPOVOV? Ternyata, hasilnya lebih proporsional dan fair. Provinsi berpenduduk banyak, otomatis mendapat kursi lebih banyak, begitu pun sebaliknya. Ada deviasi, tapi tak terlalu besar.

Pintu masuk

Sebenarnya, gagasan-gagasan progresif untuk menata alokasi kursi dan pembentukan dapil, sudah muncul di DPR, bahkan cukup mendominasi wacana publik. Apalagi, gagasan tersebut mendapat dukungan cukup kuat dari kalangan civil society. Pintu masuk untuk melakukan penataan, adalah lewat penciutan besaran daerah pemilihan (district magnitude).

Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu, Arif Wibowo (Fraksi PDIP), mengatakan perubahan besaran dapil menjadi entry point, karena begitu besaran dapil berubah, alokasi kursi di tingkat provinsi juga bisa dibuka. Alokasi kursi DPR ke setiap provinsi, maupun pembentukan dapil, memang satu paket. Keduanya pun sama-sama urusan alokasi kursi. Tidak mungkin membereskan alokasi kursi di level bawah (dapil), tanpa membereskan alokasi kursi di level atasnya (provinsi).

Sejak pembentukan draf RUU di Badan Legislasi DPR, hingga pembahasan di Panitia Khusus RUU Pemilu, partai-partai besar-menengah seperti Demokrat, Golkar, PDIP, dan PKS menghendaki besaran dapil diciutkan menjadi 3-8 kursi per dapil hingga 3-6 kursi per dapil. Sementara, partaipartai menengah-kecil, seperti PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura, menghendaki tetap 3-10, bahkan kembali 3-12 seperti Pemilu 2004 lalu.

Setelah lama berdebat, Tren komprominya sudah mengarah ke 3-8 kursi per dapil. Angka yang cukup moderat. Namun, hanya dalam hitungan hari menjelang pengesahan RUU Pemilu, Partai Demokrat tiba-tiba berubah sikap. Diduga, ini berkaitan dengan lobi antara Demokrat dengan sejumlah partai menengah mitra koalisinya. »Entah apa yang terjadi di Setgab, akhirnya Demokrat setuju kursi dapil tetap (3-10),« kata anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi PKS, Agoes Poernomo, kepada Republika, pekan lalu.

Sebenarnya, meskipun besaran dapilnya tetap 3-10 kursi per dapil, tidak berarti pintu penataan alokasi kursi dan dapil tertutup. Bisa saja dilakukan alokasi ulang, karena adanya ketidakberesan. Apalagi, ada banyak daerah otonom baru muncul, serta adanya perubahan jumlah penduduk. »Tapi, kalau menurut yang lain (anggota DPR lain –Red), kalau dapilnya 3-10, kembali seperti kemarin (pemilu sebelumnya –Red),« kata Arif.

Itulah, kata Arif, yang menjadi sebab lampiran dapil di UU No 10/2008, kembali dicomot mentah-mentah tanpa perubahan, alias copy paste. Arif menilai para koleganya di DPR sebenarnya memahami adanya persoalan besar dalam alokasi kursi dan dapil di lampiran itu. »Tapi, ini memang persoalan politik. Karena, kalau dialokasi ulang, diproporsionalkan, nanti ada kursi provinsi yang berkurang, dan ada yang bertambah. Ini bisa menimbulkan gejolak, termasuk di internal partai, karena menyangkut posisi orang,« katanya, pasrah.

Konsultan Pemilu Kemitraan, August Mellaz, juga menengarai sejumlah anggota DPR khawatir memproporsionalkan alokasi kursi dan menata dapil, karena khawatir terhadap konsekuensi kursi provinsi tertentu berkurang. Tapi, »Sebenarnya, kalau pengurangan terjadi di satu wilayah, penambahan terjadi di wilayah lain. Artinya kursi 560 ini saja yang dipindah-pindah berdasarkan hak populasi. Soal diterima atau tidak, itu bergantung sikap elite partai utama di Indonesia, dan bagaimana mereka mengelolanya,« katanya.

 


 

DPR 2004-2009 asal comot data alokasi kursi dari KPU, DPR 2009-2014 melanjutkannya dengan copy paste.

 

Oleh Harun Husein

Maju kena, mundur kena. Begitulah Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2001-2007 mengalokasikan kursi DPR ke setiap provinsi, untuk Pemilu 2004 silam. Semua itu terjadi karena dua hal. Pertama, jumlah kursi DPR telah dipatok secara bundar bulat: 550. Kedua, adanya frasa »perimbangan yang wajar«.

Jumlah kursi 550 itu termaktub di Pasal 47 Undang-Undang No 12/ 2003 tentang Pemilu Legislatif. Ada pun frasa »perimbangan yang wajar«, berada di Pasal 48. Paduan kedua ketentuan ini membuat alokasi kursi DPR menjadi luar biasa complicated, yang hampir saja berbuntut kuldesak.

Apa itu »perimbangan yang wajar«? Seperti dijabarkan di Penjelasan Pasal 48, frasa itu berisi tiga hal. Pertama, alokasi kursi dihitung berdasarkan tingkat kepadatan penduduk. Saat itu, ditetapkan kuota setiap kursi untuk daerah padat maksimal 425 ribu, sedangkan daerah renggang minimal 325 ribu per kursi. Kedua, jumlah kursi pada setiap provinsi dialokasikan tidak kurang dari jumlah kursi provinsi pada Pemilu 1999. Ketiga, provinsi baru hasil pemekaran setelah Pemilu 1999 memperoleh alokasi sekurang-kurangnya tiga kursi.

Lantas, dari mana KPU mesti memulai pengalokasian? KPU telah menjelaskannya melalui buklet dan CD-ROM bertajuk Daerah Pemilihan dan Hasil Pemilu Legislatif Indonesia 2004. Namun, terlihat masih cukup berbelit. Karena itu, Republika melakukan simulasi kecil untuk menyederhanakannya. Cara paling masuk akal adalah dengan memberikan dulu kursi kepada setiap provinsi, sesuai kursi pada Pemilu 1999. Dengan cara ini, ada 458 kursi yang teralokasi. Tinggal 92 kursi yang belum teralokasi.

Selanjutnya, memberikan kursi kepada provinsi-provinsi hasil pemekaran. Saat itu, ada enam provinsi hasil pemekaran, yaitu Banten, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Goron talo, Maluku Utara, dan Papua Barat. Dengan masing-masing dapat tiga kursi, total kursi keenam provinsi ini adalah 18. Ditambah 458 kursi yang telah teralokasi sebelumnya, kini jumlah kursi yang teralokasi sudah 476. Masih ada 74 kursi lagi yang harus dialokasikan.

Langkah berikutnya, adalah mengalokasikan ke-74 kursi itu berdasarkan kuota maksimum-minimum: 325 ribu untuk daerah renggang, dan 425 ribu untuk daerah padat. Setelah ditelusuri, ada 14 provinsi yang mengalami peningkatan jumlah penduduk dan berhak mendapat kursi tambahan. Total kursi yang bisa diklaim oleh ke-14 provinsi itu adalah 87 kursi.

Dari ke-14 provinsi tersebut, tiga di antaranya provinsi induk pemekaran, yaitu Jawa Barat, Sumatra Selatan, dan Riau. Meski telah dimekarkan, laju pertumbuhan penduduk di ketiga provinsi ini cukup tinggi.

Persoalannya, jika ke-87 kursi itu diberikan, akan membuat jumlah kursi DPR membengkak menjadi 563. Padahal, UU Pemilu telah mengunci jumlah kursi DPR sebanyak 550. KPU pun terancam »mati angin«.

Mengiris Kursi

Untuk menyiasatinya, KPU pun mengiris kursi enam provinsi induk pemekaran, yaitu Jawa Barat, Riau, Sumatra Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua. Tiga kursi dari masing-masing provinsi itu »dianggap« telah diberikan kepada provinsi pemekaran, yaitu Banten, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Gorontalo, Maluku Utara, dan Papua.

Dengan cara ini, jumlah kursi yang semula membengkak menjadi 563, menyusut menjadi 545. Tapi, tetap saja belum mencapai 550, se hingga komisioner KPU harus kembali memutar otak mencukupinya: diberikan kepada siapa lima kursi yang tersisa itu. KPU pun melanjutkan perhitungannya.

Belum lagi lima kursi itu dialokasikan, protes bermunculan. Sejumlah provinsi induk pemekaran menolak cara KPU yang main jagal jatah kursi mereka. Mereka berdalih, KPU tak boleh mengurangi jatah mereka karena UU Pemilu telah menyatakan secara eksplisit: »jumlah kursi pada setiap provinsi dialokasikan tidak kurang dari jumlah kursi provinsi pada Pemilu 1999«.

Protes paling sengit datang dari Maluku, Sulawesi Utara, dan Papua. Dari sana sempat mencuat gertakan untuk memisahkan diri dari NKRI. Uniknya, sejumlah anggota DPR, terutama dari anggota Panitia Khusus RUU Pemilu yang menyusun UU No 12/2003, membenarkan pendapat provinsi-provinsi induk tersebut. Seakan cuci tangan terhadap kerumitan regulasi alokasi kursi yang mereka buat. KPU pun kian terpojok.

Setelah berulang kali melakukan kontak, akhir Desember 2003, KPU dan DPR akhirnya bertemu di Hotel Sahid, Jakarta. Saat itu, sempat disepakati untuk merevisi UU Pemilu, dengan menambah kursi DPR, untuk meredakan protes. Jumlah yang sempat muncul adalah menambah kursi menjadi 556.

Namun revisi itu tak kunjung terjadi, karena anggota DPR yang seharusnya membahas revisi, sudah kabur ke daerah pemilihannya masing-masing untuk menemui konstituennya. Maklum menjelang pemilu. Tinggallah KPU yang kemudian yang bak ketiban pulung. Tapi, KPU tak kehabisan akal. KPU memaksimalkan lima kursi yang tersisa untuk »menyumpal« protes dari provinsi induk.

Dua kursi diberikan kepada Sulawesi Utara. Sehingga, kursinya yang semula tinggal empat – karena dipotong tiga kursi untuk Gorontalo – kini menjadi enam. Kebetulan, penduduk Sulawesi Utara yang saat itu berjumlah 2.131.685, memenuhi kuota maksimum-minimum dengan tambahan kursi itu. Dengan enam kursi, kuotanya menjadi 355.280.

Kelar dengan Sulawesi Utara, KPU menyasar Maluku. Tapi, di sini KPU dapat kesulitan. Sebab, penduduk Maluku hanya 1.277.414. Jika ditambah satu kursi, kuota minimum tidak terpenuhi. Sebab, harga kursi akan menjadi 319.353.

Setelah memutar otak, Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin tiba-tiba mengumumkan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) paling mutakhir, jumlah penduduk Maluku bertambah 50 ribu. Dengan demikian, penduduk Maluku telah menjadi sekitar 1.327.414. Sehingga, jika diberi empat kursi, kuota minimumnya terpenuhi. Sebab, harga setiap kursi telah menjadi 331.853. Beres.

Soal apakah benar penduduk Maluku tiba-tiba bertambah 50 ribu dalam waktu singkat, masih menjadi misteri sampai saat ini. Bila memang penduduk Maluku bertambah, apakah provinsi lain tidak bertambah? Lagipula, data BPS mana yang dimaksud. Sebab, data kependudukan yang dipakai KPU sebagai acuan alokasi kursi, adalah data Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B), yang merupakan hasil kerja sama KPU dengan BPS. Tapi, sudahlah, 50 ribu ini memang »data politik«.

Selanjutnya, satu kursi diberikan kepada Riau. Sehingga, kursinya yang semula 10 – akibat dipotong tiga untuk Kepulauan Riau – kini menjadi 11. Tapi, dengan penduduk 4.425.100, kuota kursinya menjadi 402.281. Kuota ini terbilang ketinggian, mengingat Riau bukanlah daerah padat, di luar Jawa pula. Seharusnya, kalaupun diberi tambahan dua atau tiga kursi, provinsi ini masih pantas mendapatkannya. Sebab, jika pun mendapat alokasi 13 kursi, kuotanya masih 340.392.

Setelah Sulawesi Utara, Maluku, dan Riau diberi kursi, sudah empat kursi sisa yang teralokasi. Tinggal satu kursi yang tersisa. Ke mana KPU akan mengalokasikannya? Selain Riau, ada sejumlah provinsi lain yang terbilang tak padat tapi kuota kursinya masih ketinggian, dan berhak mendapatkan kursi itu. Seperti Sumatra Selatan (408.182), Lampung (408.575), Nusa Tenggara Barat (401.510).

Logikanya, kursi itu akan jatuh ke Sumatra Selatan. Tapi, ternyata tidak. KPU menjatuhkan kursi itu ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sehingga, dari semula 12 kursi, Serambi Makkah kini memiliki 13 kursi.

Sebenarnya, dengan penduduk 4.227.000, dan 12 kursi, kuota NAD masih terbilang rendah, yaitu 352.250. Kuota ini bahkan lebih rendah dibanding Kalimantan Barat (395.844), Kalimantan Timur (387.498), Kepulauan Riau (384.044), Bengkulu (380.300), Sulawesi Tenggara (376.302), Sulawesi Tengah (369.241), dan Jambi (367.961). Dengan memberi 13 kursi kepada NAD, kuotanya benar-benar berada di batas bawah kuota minimum, yaitu 325.153.

Soal mengapa kursi itu jatuh ke NAD, belum terjawab tuntas sampai saat ini. Pipit R Kartawidjaja, dari Watch Indonesia! di Berlin, menduga kursi itu sengaja diberikan kepada NAD, agar daerah pemilihan Serambi Makkah bisa dibagi dua. Maklum, saat itu besaran daerah pemilihannya adalah 3-12 kursi per dapil. Sehingga bila memiliki 13 kursi, otomatis akan membuat NAD dibelah menjadi dua dapil. »Gunanya buat membikin loyo GAM,« ledek Pipit.

Revisi UU

Betapa pun kritik mengiringi, siasat alokasi kursi KPU saat itu berhasil meredam gejolak. Seharusnya, ketidakberesan saat itu, menjadi PR untuk diperbaiki pada masa berikutnya. Dan momentum itu pun tiba keti ka DPR periode 2004-2009 merevisi UU No 12/2003.

Karena menimbulkan ketidakwajaran dalam alokasi kursi, frasa »perimbangan yang wajar« beserta pernak-perniknya didrop lewat revisi UU Pemilu. Harapan bahwa DPR akan membereskan alokasi kursi, sehingga ketimpangan harga kursi antarprovinsi mengecil, dan harga kursi menjadi lebih setara – sesuai prinsip equality dalam demokrasi – mencuat ke permukaan.

Apalagi, jumlah kursi DPR ditambah dari 550 menjadi 560, sehingga mau tidak mau kursi DPR untuk tiap provinsi harus dialokasi ulang. Selain itu, besaran daerah pemilihan (district magnitude) juga telah diperkecil dari semula 3-12 kursi per dapil, menjadi 3-10 kursi per dapil, sehingga jumlah dapilpun mekar dari semula 69 menjadi 77. Mau tidak mau, kursi untuk setiap dapil pun perlu dialokasi ulang.

Lewat UU, DPR merebut kewenangan alokasi kursi dan pembentukan dapil yang semula diberikan kepada KPU. Pengambilalihan kewenangan itu termaktub di Pasal 22 Ayat (4) revisi UU Pemilu – yang kemudian menjadi UU No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif – yang berbunyi »Daerah pemilihan… merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.«

Namun, harapan bahwa alokasi kursi akan dibereskan, kandas. Sebab, DPR ternyata hanya mencomot mentah-mentah data alokasi kursi dan daerah pemilihan yang dibuat KPU. Kemudian, memodifikasinya secara tambal sulam. Maka, alih-alih menyelesaikan masalah, yang muncul justru masalah baru.

Kendati frasa »perimbangan yang wajar« telah didrop dari UU, bila alokasi kursi yang dihasilkan oleh DPR ditelisik, secara faktual masih digunakan. Tidak adanya satu pun provinsi yang alokasi kursinya berkurang dibanding pemilu sebelumnya – kendati ada ketimpangan antar provinsi – merupakan reinkarnasi belaka dari poin ke dua perimbangan yang wajar di UU No 12/2003. Pemberian otomatis tiga kursi untuk provinsi baru hasil pemekaran, juga memperlihatkan itu. Satu-satunya ketentuan »perimbangan yang wajar« yang ditinggalkan adalah kuota maksimum-minimum.

Meski demikian, ketentuan pemberian tiga kursi kepada provinsi hasil pemekaran, tidak lagi berjalan seperti cara 2004. Sebab, kendati Sulawesi Barat telah diberi tiga kursi, kursi Sulawesi Selatan yang merupakan provinsi induk, tidak dikurangi. Sulawesi Selatan tetap mendapat 24 kursi. Padahal, setelah dikurangi penduduk Sulawesi Barat, jumlah penduduk Sulawesi Selatan tinggal 7.712.884. Dengan demikian, jika kursinya tetap 24, harga kursinya menjadi 321.370, alias di bawah kuota minimum.

Sulawesi Selatan pun menjadi provinsi yang kelebihan kursi (overrepresented), di saat masih ada sejumlah provinsi lain yang kekurangan kursi (underrepresented), seperti Kepulauan Riau. Pada 2009 lalu, harga satu kursi di Kepulauan Riau merupakan yang tertinggi di Indonesia, yaitu 501.454. Inilah contoh ketimpangan alokasi kursi yang sangat nyata. Sebab, bahkan di provinsi-provinsi berpenduduk padat di Jawa pun, kuota kursinya tak sampai 500 ribu.

Jika kursi Sulawesi Selatan tidak dikurangi setelah ada pemekaran Sulawesi Barat, lantas dari mana tiga kursi untuk Sulawesi Barat? DPR mengambilnya dari tambahan 10 kursi DPR – dari semula 550 kursi menjadi 560 kursi.

Keanehan berlanjut, karena tujuh kursi tambahan lainnya dialokasikan kepada Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra Utara, Lampung, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Timur. DPR membagi kursi kepada ketujuh provinsi ini berdasarkan pertambahan jumlah penduduk. Persoalannya, apakah angka absolut pertambahan penduduk yang perlu menjadi acuan, atau kuota setiap kursi?

Berdasarkan penghitungan Republika, jika kursi ketujuh provinsi ini tidak ditambah, alias tetap seperti Pemilu 2004, kuotanya rata-rata memang besar – di atas kuota maksimum 425 ribu kursi untuk daerah padat, jika mengacu UU sebelumnya. Jawa Barat, misalnya, menjadi 440.380, Jawa Timur (441.091), Jawa Tengah (453.482), Sumatra Utara (438.541), Lampung (444.949), Sumatra Selatan (437.846), dan Kalimantan Timur (444.893).

Tapi, Kepulauan Riau jelas lebih besar, yaitu 501.454. Bahkan, masih ada pula dua provinsi yang kuotanya lebih besar yaitu Kalimantan Barat (453.482) dan DI Yogyakarta (450,153).

Seharusnya, keanehan dan inkonsistensi dalam pengalokasikan kursi yang telah berlangsung satu dekade, sejak Pemilu 2004 dan 2009, disudahi untuk Pemilu 2014. Wacana membereskan alokasi kursi ini juga sudah mencuat pada revisi UU No 10/2008. Tapi, seperti DPR sebelumnya, DPR kali ini pun rupanya hanya meneruskan saja kekeliruan-kekeliruan yang ada, bahkan dengan cara yang lebih buruk.

Bila DPR periode sebelumnya masih mengakomodasi pertambahan penduduk dengan mengalokasikan kursi tambahan kepada provinsi yang bertambah jumlah penduduknya, DPR periode 2009-2014 benar-benar tak melakukan apa-apa. Membahas revisi UU Pemilu selama dua tahun, ujung-ujungnya mereka hanya mencomot mentah-mentah alokasi kursi dan dapil warisan DPR sebelumnya, yang ada di lampiran UU No 10/2008, tanpa perubahan sama sekali.

Alhasil, ketimpangan pun semakin menjadi-jadi. Simulasi alokasi kursi Pemilu 2014, menggunakan data Sensus BPS 2010 mendapati se makin banyak provinsi di luar Jawa yang harga kursinya lebih mahal dibanding provinsi di Jawa. Seperti Kepulauan Riau (561.899), Riau (503.911), Sulawesi Tenggara (446.113), Kalimantan Timur (443.823), dan Sulawesi Tengah (438.903).

Beginilah ending alokasi kursi bermodalkan etos copy paste.


Tags: , , , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami