Information und Analyse

Elit pengusaha Indonesia main dalang

 

Informasi dan Analisa, 29 September 2011

 

 oleh Alex Flor

 

Pemerintah mau ”mengusir” Greenpeace dari Indonesia tanpa menyadari mereka sama-sama dimusuhi para konglomerat dan lawan politik pemerintahan sekarang.

 

Wayang_TIM

foto: Alex Flor

„Saya bekerja di satu Ornop”. Begitu biasanya saya menjawab jika orang menanyakan profesi saya. „Di sebuah organisasi non-pemerintah”, saya menjelaskan ketika yang dihadapin masih ragu atas arti ornop itu. Kalau beliau tetap pusing bisa jadi saya bilang: „ya, kira-kira lembaga seperti Greenpeace tapi jauh lebih kecil”. „O gitu!”

Hampir semua orang tahu Greenpeace. Oleh karena aksi-aksinya yang menonjol lembaga itu sudah terkenal di semua benua dunia. Boleh dikatakan tidak ada ornop yang lebih terkenal daripada Greenpeace. Hanya saja, terkenal tidak sama artinya dengan disukai umum. Berbagai orang akan merasa terganggu di karenakan aksi-aksi Greenpeace kadang-kadang dengan sengaja melanggar hukum. Kemungkinan besar di bumi ini tidak satupun negara akan menganggap aksi menduduki cerobong pabrik atau menara pendingin pembangkit listrik sebagai aksi yang legal demi hukum. Dengan demikian musuh Greenpeace cukup banyak. Namun begitu, Greenpeace sudah berhasil untuk menciptakan kesadaran umum atas tema-tema seperti sumber pelayanan listrik ataupun perlindungan dunia hayati di samudera. Alhasilnya baik direktur perusahaan pembangkit listrik maupun para nelayan pencari ikan paus merasa perlu membela diri dengan argumen rasional daripada hanya menjawab dengan emosi saja. Kalau saja pihak tertentu berniat untuk menggambarkan Greenpeace sebagai „musuh rakyat” atau „musuh negara”, belum pernah masyarakat Jerman akan mau menerimanya.

Beda jauh di Indonesia. Di sini Greenpeace baru aktif semenjak beberapa tahun silam. Aksi-aksi yang menonjol antara lain sebuah kamp hutan rimba di Riau serta aktifitas demi perlindungan hutan tropis di Papua. Salah satu konglomerat yang ditargetkan Greenpeace adalah perusahaan pulp dan kertas APP (Asia Pulp and Paper). Berdasarkan sikap nasionalis di masyarakat yang sangat kritis terhadap segala tindakan orang asing, para konglomerat pulp dan kertas maupun konglomerat kelapa sawit yang dikritikkan Greenpeace itu dengan gampang berhasil untuk mengarahkan pendapat umum supaya anti-Greenpeace.

Apakah Greenpeace menjadi agen imperialisme?

Dengan cara memulai meragukan legitimasi dan kepentingan lembaga asing. Kemudian muncul dugaan bahwa Greenpeace bergerak sebagai mata-mata untuk kepentingan pihak asing. Masyarakat selalu siap untuk menerima dugaan itu bila orang asing beraktifitas di Indonesia. Contoh yang paling prominen adalah bantuan darurat pasca tsunami di Aceh. Sangat ramai diskusinya pada saat itu atas pertanyaan apakah pihak asing, khususnya tentara AS, boleh menyelamatkan masyarakat di daerah yang dibumi hanguskan oleh bencana itu. Ada yang menduga pihak asing sebagai mata-mata, bahkan ada yang menganggap bantuan asing itu sebagai penjajahan berselubung. Ternyata, pola pikir yang dibentuk dari pengalaman perjuangan kemerdekaan tahun 40an dan pembelaan negara terhadap kepentingan asing tahun 50an abad yang lalu tetap dianggap sangat relevan pada masa kini.

Kita bisa melihat betapa dalam kekhawatiran itu dari jumlah kecil orang Indonesia yang siap untuk menerima bahwa kepentingan Barat sudah berubah dengan drastis, di mana pada masa kini negara-negara Barat mengutamakan stabilitas Republik Indonesia, dan hampir tidak ada yang lebih ditakuti mereka daripada „Balkanisasi” atau disintegrasi Republik itu.

Ternyata dari latar belakang itu menjadi tidak relevan bahwa kini semua orang bisa melihat di Google Earth di mana letaknya pintu masuk gedung tertentu dan berapa jauh pos polisi terdekat dari gedung itu. Buat apa lembaga intel dari negara orang masih perlu mengirim mata-mata?
Buat intel asing jauh lebih menarik kalau mereka berhasil menanam mata-mata di direkturat perusahaan besar, ataukah di departemen negara daripada mengirim orang ke kamp di hutan rimba.

Para pengamat di luar Indonesia cuma tinggal menggeleng kepala kalau justru Greenpeace dianggap sebagai organisasi yang dekat dengan lembaga intel Barat. Setelah intel Perancis pernah menenggelamkan sebuah kapal Greenpeace di Auckland, Selandia Baru, dengan bom – nampaknya dengan persetujuan intel Amerika, CIA – agak susah untuk membayangkan Greenpeace sebagai agen lembaga-lembaga intel Barat itu.

Greenpeace sebagai simbol atas kekurangan nilai moral di Barat

Supaya kampanye menentang Greenpeace tidak terbatas atas kaum nasionalis lembaga agama pula perlu dipancing. Caranya gampang. Entah dari mana tiba-tiba muncul tuduhan bahwa Greenpeace dibiayai dengan uang yang haram, yaitu dana yang dihasilkan dari judi. Bisa jadi Greenpeace International yang bermarkas di Belanda menerima sumbangan dari yayasan lotre. Tapi yayasan lotre tidak sama dengan lotre judi seperti di Indonesia, dan Greenpeace International tidak sama dengan Greenpeace Indonesia. Tentu saja kelompok-kelompok radikal seperti FPI (Front Pembela Islam) dan FBR (Forum Betawi Rempug) tidak peduli dengan perbedaan-perbedaan „kecil” itu. Mereka langsung bergerak demi tujuan untuk mengusir Greenpeace dari Indonesia. Bahkan gereja Katolik mengikuti kampanye itu oleh karena nilai-nilai moral keagamaan mengharamkan main judi.

Apakah betul main judi adalah fenomena dari negeri asing? Siapakah yang protes terhadap tempat-tempat main judi yang antara lain berkonsentrasi di Jakarta Utara? Omset lokasi-lokasi itu bernilai jutaan rupiah, dan adalah rahasia umum bahwa bisnis mereka dilindungi oleh tokoh-tokoh Polri dan TNI. Siapa yang protes ketika agen travel tertentu menyediakan tour ke kasino di berbagai negara tetangga? Dan bulan Juli lalu diselenggarakan „Jakarta Berlin Arts Festival” di Berlin, ibukota Jerman. Festival itu antara lain disponsori KBRI, Pemerintah DKI Jakarta, Deplu Jerman dan Pemerintah Kota Berlin – serta dengan jumlah dana paling tinggi Yayasan Lotre Jerman. Kok tidak ada yang protes???

Tentu saja Greenpeace pernah juga menerima sumbangan dari selebritis seperti misalnya mantan bintang tenis Jerman, Boris Becker. Dengan gampang beliau bisa menyumbang setelah melarikan dirinya ke Monaco, karena dengan berdomisili di Monaco Boris menghindari membayar pajak di Jerman. Seharusnya sumbangan seperti itu haram pula, karena dia melarikan diri wajib membayar pajak.
Hanya saja, kalau sumbangan Boris Becker dinilai haram, segala sumbangan orang yang berhasil menghindari dari kewajiban membayar pajak, yang mencuci uang, atau korupsi otomatis haram pula. Kalau mau konsisten lembaga-lembaga agama harus menolak segala sumbagan itu. Boleh saja. Tapi jangan heran kalau hampir semua lembaga karitatif maupun lembaga agama di Indonesia akan bangkrut kalau prinsip ini akan diterapkan secara konsisten!

Greenpeace hanya salah satu contoh yang cukup terkenal dan kasusnya sangat jelas. Puluhan, mungkin ratusan lembaga lain yang bermarkas di luar negeri mengalami nasib yang sama. Soalnya, dengan menggunakan stereotipe nasionalisme maupun agama kalangan tertentu dengan mudah bisa merekayasa sebagian besar masyarakat demi tujuan politik dan bisnis sendiri.

Para dalang dan penontonnya

Seratus orang terkaya di Indonesia rata-rata berhasil menambah modalnya sebanyak 75% (!) selama satu tahun terakhir ini. Mereka tidak peduli mengenai tema-tema seperti lingkungan hidup, iklim, hak atas tanah atau kemiskinan orang banyak. Satu-satunya kepentingan mereka supaya modalnya akan bertambah terus. Pribadi mereka tidak terganggu perasaan takut atas masa depan. Karena dengan begitu gampang mereka selalu berhasil untuk mengarahkan baik kalangan masyarakat yang progresif maupun yang konservatif, para ornop, lembaga agama, dan partai politik ke jalur yang sama, yaitu kebencian terhadap pihak asing dan „kepentingan imperialisnya”. Walau peta politik dan ekonomi global sudah berubah secara drastis, ternyata pola pikir dan gambaran politik dari 50 tahun yang lalu tidak pernah disesuaikan dengan keadaaan zaman kini. Sehingga para elit selalu saja bisa memperalatkan stereotip lama demi menghindari diskusi umum yang substansial dan berdasarkan fakta. Terutama para elit itu berniat untuk mengarahkan segala kritik ke pihak manapun, asal bukan pihak diri mereka.

Skandal atas Bank Century dua tahun silam membuat hampir semua masyarakat Indonesia mengambil sikap menjauh dari pemerintah. Sasaran langsung adalah wakil Presiden Boediono serta mantan Menko Perekonomian Sri Mulyani yang akhirnya berhasil menarik dirinya secara elegan dengan menerima sebuah jabatan tinggi di Bank Dunia dan yang sekarang ini mempersiapkan comebacknya di peta politik Indonesia. Tetapi jelas, kedua-duanya cuma menjadi medium demi sebuah kampanye yang sebenarnya menargetkan pemerintahan Presiden SBY tumbang.

Tentu saja perhatian atas Bank Century dengan jauh melebihi kasus Greenpeace. Tapi yang mirip antara ke dua kasus itu, bahwa kelompok masyarakat yang bersatu dalam gerakan protes itu berdiri dari kalangan progresif sampai kalangan konservatif, dari kelompok agama sampai ke kalangan yang sekuler, dari Ornop sampai partai-partai politik. Dengan segala perbedaan antar kelompok itu mereka bersatu dalam tujuan utamanya: SBY harus turun! Tentu saja tidak satupun dari mereka bisa menunjukkan alternatif yang lebih baik. Dan dalam suasana panas diskusi umum hampir tidak ada yang menyadari seorang lawan politik dan musuh pribadi Sri Mulyani merasa senang sekali: Aburizal Bakrie (Ical), mantan orang terkaya di Indonesia, pengusaha yang perlu mempertanggungjawabkan kasus lumpur Lapindo, ketua umum Partai Golkar, dan kemungkinan besar calon presiden partai itu untuk pilpres mendatang. Mirip dengn kampanye Bank Century yang didalangi Aburizal Bakrie, di belakang kampanye anti Greenpeace sekarang ini perusahaan Asia Pulp dan Paper (APP) terduga sebagai dalang.

Apakah Bakrie Group, APP, Sinar Mas, Medco dan lain sebagainya: di bidang bisnis mereka bersaing satu sama yang lain tetapi tentu saja kepentingan politiknya sama. Tidak satupun dari konglomerat itu akan mau berjuang demi sebuah program lingkungan hidup ataukah program pelestarian iklim dunia yang progresif. Dan tidak satupun dari mereka akan senang kalau pihak negara akan memperkuat hak-hak tanah ulayat ataukah hak-hak masyarakat adat (alias „orang primitif”) di Indonesia. Siapa yang merasa heran kalau para pesaing bisnis mendukung APP?

Lagi Partai Golkar yang diketuai Ical itu sudah menentukan Prya Ramadhani, ketua DPD Golkar DKI Jakarta yang anak perempuannya nikah sama anak Ical, sebagai calon Gubernur. Prya sudah menjelaskan apa yang bisa diharapkan dari jabatan beliau: „Jika kehadiran Greenpeace membuat Jakarta tidak kondusif, saya dukung langkah FBR untuk mengusir Greenpeace … Jika saya jadi gubernur, silakan Greenpeace angkat kaki dari Jakarta kalau tidak menaati peraturan”.

Juru bicara Kementerian Hukum dan HAM, Martua Batubara, Selasa (20/9) di Jakarta mengatakan pihaknya akan mengusir Greenpeace dari Indonesia. Alasannya menurut Batubara salah satunya disebabkan ada dugaan (!) dana organisasi lingkungan itu berasal dari judi dan dana itu digunakan untuk menjelek-jelekkan Indonesia di luar negeri dalam masalah lingkungan. Menurut Martua Batubara hal itu sudah bisa digolongkan tindakan makar. Dia tidak menjelaskan bagaimana „pengusiran” lembaga Greenpeace Indonesia yang hampir semua staf dan anggotanya berwarganegara Indonesia akan berlangsung.

Kritik dan otokritik

Presiden SBY dan pemerintahanya lagi mengalami titik popularitas yang sangat rendah. Hanya di luar negeri pemerintah ini masih cukup dipercayai. Sudah saatnya supaya SBY menyadari bahwa arsitek, mekanisme dan pelaksana kampanye yang menentang dirinya sama dengan arsitek, mekanisme dan pelaksana kampanye yang menentang Greenpeace. Sebaiknya SBY melepaskan diri dari perang propaganda itu yang akan merugikan pribadinya, politiknya dan partainya. Sudah waktunya pula demi masyarakat sipil di Indonesia untuk mencerminkan diri dengan kritis. Tidak semua kampanye menentang pemerintah akan berguna demi kepentingan kalangan masyarakat yang diwakili mereka. Tidak usah menumpang semua kereta yang lagi berjalan itu demi membuktikan dirinya sebagai warga negara yang kritis terhadap pemerintah. Paling sedikit sebelum menumpang perlu diperiksa siapakah pengemudi kereta itu. Kemungkinan besar Aburizal Bakrie, kalau akan dipilih menjadi Presiden tahun 2014, tidak akan memberi tanda terima kasih kepada semua orang yang dengan kurang sadar pernah menjadi pendukung kampanye dia.


Tags: , , , , , , , , , , , , , , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami