De-PDIP-sasi Ahok atau de-Ahokisasi PDIP?

Merdeka.com, 22 Maret 2016

http://www.merdeka.com/khas/de-pdip-sasi-ahok-atau-de-ahokisasi-pdip.html

Penulis : Pipit Kartawidjaja

Merdeka.com-logo2Merdeka.com – Buat acara “Revisi UU Pilkada: antara Parpolisasi dan Derakyatisasi”, diselenggarakan oleh “Koalisi Mandiri Untuk Pemilu Demokratis” (18/3) lalu, Ray Rangkuti meminta saya bercerita pengalaman negara-negara Eropa soal pilkada-pilkada lokal. Setelah saya permak, ceritanya jadi sebagai berikut:

Dalam Pilkada kota Koeln, Jerman, (13/9/2015), telah terpilih Nyonya Henriette Reker yang meraup 53 persen suara. Ia adalah calon perorangan, mengalahkan 6 (enam) calon lainnya dalam putaran pertama. Dari 7 calon kepala daerah, 3 adalah calon perorangan dan 4 calon usungan parpol SPD, Die Partei, AfD dan Republikaner.

Adapun syarat pencalonan kepala daerah dari jalur perorangan di negara bagian Nordrhein- Westfalen (setara provinsi), di mana kota Koeln berada: untuk kabupatan/kota berpendudukan sampai dengan 10.000 jiwa diperlukan dukungan pemilih sebanyak 3 kali lipatnya jumlah anggota DPRD. Di luar itu dibutuhkan dukungan pemilih 5 kalinya jumlah anggota DPRD. Kota Koeln yang kesohor akibat kasus para pelarian telah melakukan perbuatan sangat memalukan pada malam tahun baru 2015 itu, umpamanya berpendudukan sekitar 1,1 juta jiwa dan memiliki 90 anggota DPRD, yang berasal dari 10 parpol (SPD, CDU, Buendnis 90/Die Gruenen, Die Linke, FDP, AfD, Deine Freunde, Die Piraten, Pro Koeln dan Freie Waehler). Karena itu, calon perorangan perlu dukungan 5 kali 90 alias 450 pemilih.

Kehadiran calon perorangan itu merupakan salah satu cara untuk memberikan nyawa kepada demokrasi di samping hak inisiatif rakyat, plebisit, referendum atau participatory budgeting.

Selain itu, misalnya buat calon legislatif DPR Nasional (Bundestag) dari jalur perorangan hanya diperlukan 0,1 persen tanda tangannya pemilih di satu negara bagian (setara provinsi). Caleg asal provinsi Berlin misalnya perlu 2.000, provinsi Bremen 484, provinsi Hamburg 1.282 dukungan pemilih (Catatan: guna mengikuti pemilu DPR Nasional (Bundestag), parpol di Jerman tak perlu tampil di seluruh provinsi. Parpol CSU alias Christlich-Soziale Union alias Uni Kristen Sosial hanya eksis dan berlaga di provinsi Bavaria).

Kehadiran calon perorangan dalam sistem kepartaian yang telah melembaga itu ternyata diperlukan, sebab hasil jajak pendapat mengatakan, bahwa masyarakat membutuhkan seorang kepala daerah yang memiliki (a) kredibilitas, (b) kedekatan dengan warga, (c) kualitas kepemimpinan dan (d) netral dalam artian ganda: pertama, netral terhadap semua parpol dan golongan, dan kedua bersedia berkonflik dengan parpolnya sendiri (jika kepala daerah berasal dari parpol) di saat-saat yang penting.

Karena itulah, calon perorangan yang bersyarat rendah sebagai salah satu bentuk partisipasi masyarakat juga merupakan basis demokrasi bukan hanya parpol belaka. Toh karenanya, sistem kepartaian di Jerman tak menjadi lemah.

Sebaliknya, “menjaga kesepadanan antara calon kepala daerah perorangan dengan partai politik”, syarat pencalonan perorangan kepala daerah di Indonesia sebagai salah satu opsinya direncanakan akan dinaikkan sampai 20 persen dari Daftar Pemilih Tetap.

Dalam Pemilu 2014, KPUD DKI Jakarta menetapkan 7.024.669 pemilih, Dari jumlah tersebut, tercatat 4.537.227 suara sah pemilih (64,6 persen) untuk memperebutkan 106 kursi DPRD DKI Jakarta. Alhasil, untuk 1 kursi perlu 66.207 pemilih atau 42.802 suara sah (angka rata-rata).

Karena syarat pencalonan Gubernur DKI Jakarta dari jalur parpol diperlukan 20 persen, maka ini sama dengan 22 kursi DPRD DKI Jakarta alias 22 legislator alias 1.457.950 pemilih atau 941.590 suara sah. Maka, cuma PDIP yang berkursi 28 sajalah yang memenuhi syarat tanpa koalisi.

Akan tetapi, apa gak keliru besarnya syarat minimal 22 legislator itu harus dimiliki oleh Ahok yang calon perorangan demi “memastikan legitimasi ketika akhirnya dipilih rakyat”? Sepantasnya, Ahok disandingkan dengan seorang legislator parpol, alias hanya perlu dukungan 66.207 pemilih. Legitimasi akan didapat, bila calon perorangan terpilih.

Mungkin di balik penaikan persyaratan calon perorangan versi PDIP itu akibat bisikan alam gaib. Pasalnya, PDIP itu kelahiran 10/1/1973, hari Rabu, bershiokan Tikus. Sedangkan Ahok brojolan 29/6/1966, hari Rabu, bershiokan Kuda. Rabu ketemu Rabu itu ala (buruk) dan susah, bisik primbon Jawa. Tikus memang non-pasangannya Kuda, mistisan Pershioan.

Sebenarnya, daripada ribet-ribet mencurigakan, malapetaka pasangan Ahok dan Djarot (PDIP) dapat dihindari. Caranya: PDIP bersesajen nasi pulen, lauknya iwak kambing, 9 macam sayuran; sedangkan Ahok bersesajen nasi pulen, lauknya iwak menjangan dikolak, digecok, dan dibakar.

Tapi, nasi telah menjadi bubur dan sudah ndubur pula.


Tags: , , , , ,


Share

Silakan berkomentar

You must be logged in to post a comment.

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami