Politisi, Antara Datang dan Pergi?

Suara Pembaruan, 02 Oktober 2010

Oleh: Boni Hargens

LogospDarf ein Politiker einfach gehen? Begitu headline Mingguan Die Zeit edisi 22 Juli 2010 yang saya beli di supermarket dekat penginapan di Berlin. Mungkinkah seorang politisi pergi begitu saja?

Berita ini membahas perilaku politik politisi dua generasi yang berbeda antara generasi lama seperti jamannya Helmut Kohl dan generasi belakangan seperti Roland Koch, Horst Kohler, ataupun Ole von Beust. Masa Kohl, politisi tak mudah meninggalkan jabatan. Apapun yang terjadi, mereka memikul segala bentuk beban dan mempertanggungjawabkannya dengan serius dengan seringkali mengabaikan personaliche Freiheit, kebebasan pribadi. Masa sekarang, kata Die Zeit, politisi dengan mudah pergi kalau mereka tak bisa memikul lagi beban. Prof Marianne Klute dari Watch Indonesia bilang ke saya, ini masalah tanggung jawab politik. Frase “tanggung jawab politik” ini yang perlu digarisbawahi. Pergi atau bertahan bisa berarti positif sekaligus negatif. Pergi berarti positif, kalau menyadari ketidakmampuan dalam melaksanakan tugas. Bertahan bisa positif, artinya positif kalau mengacu pada komitmen moral untuk bertanggungjawab secara total. Tetapi pergi dan bertahan bisa negatif kalau pergi untuk menghindar dari tanggung jawab atau bertahan karena melihat kekuasaan sebagai tujuan mutlak pada dirinya. Sehingga politisi gagal pun akan sulit pergi dari kursinya.
Tulisan ini tak dimaksudkan untuk memperlihatkan diferensi tajam dalam hal kualitas berpolitik di kita dan di negara maju seperti Jerman. Tapi, setiap bentuk konsolidasi demokrasi dan pembangunan politik dalam pengertian general harus selalu mengarah pada tahapan berpolitik yang ideal. Di mana transparansi tidak hanya dituntut dalam mengelola anggaran, tapi juga dituntut dalam mendiskusikan, mendebatkan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum sehingga tidak ada lagi politik belakang layar yang mau menyelesaikan semua urusan dengan cara-cara kuno dan irasional, yang seringkali membunuh imaginasi publik tentang kejujuran demokratik.

Di kita, politisi yang ketahuan gagal atau bahkan yang terindikasi korupsi pun, seringkali dengan tanpa rasa malu menghindar dari tanggung jawab dan melakukan apapun untuk mempertahankan jabatan. Mereka tak akan pernah diharapkan untuk pergi. Ada menteri yang jelas-jelas gagal dan bahkan sikap publiknya tak sepadan dengan besarnya jabatan yang dipangku. Tetapi menteri macam ini lebih galak dalam mempertahankan jabatan ketimbang menteri lain yang mungkin tak begitu cerdas tetapi punya tanggung jawab.

Kalau tanggung jawab kita sederhanakan lagi dalam terminologi “kejujuran”, persis itu tema kita. Betul, bahwa berpolitik di manapun, di negara maju atau miskin, kejujuran bukan wacana yang penting dalam praktek. Tetapi kadarnya yang kita persoalkan. Kalau ketidakjujuran lebih besar dari kejujuran, das sein politik sudah berubah wujud menjadi sistem kebohongan.

Kondisi ini dengan sendirinya melahirkan resistensi. Itu yang bisa terjadi kalau kartel politik menguasai praktek pemerintahan. Itu pula yang terjadi kalau kekuatan politik di parlemen dicaplok oleh satu arus utama yang dominan. Akibatnya, dinamika dan pengawasan oleh parlemen terhadap pemerintah pun tak akan berjalan secara obyektif dan efektif.

Petisi 28 dan beberapa elemen sipil lain mendesak supaya Skandal Century dituntaskan. Tetapi teriakan itu tak bernilai apapun pada saat kartelisasi politik menguasai seluruh proses terselubung dan mengatur regulasi supaya sinergis dengan kepentingan parsial segelintir orang yang rakus atau yang ketakutan secara berlebihan terhadap penegakan hukum.
Kita pun percaya, kalau misalnya pimpinan DPR berniat baik menegakkan fungsi utama parlemen dalam hal anggaran, pengawasan, dan legislasi tetapi parlemen bukan institusi yang dikendalikan oleh segelintir pemimpinnya. Parlemen adalah institusi yang rumit dengan kepentingan beragam. Itu sebabnya, kinerja parlemen tak bisa diukur dengan pendekatan behavioral semata. Ia mesti dibaca dengan pendekatan institusional yang lebih utuh dan menyeluruh. Ada semacam subkultur tersendiri yang terbangun di balik gedung besar yang mengatasnamakan rakyat. Subkultur itu tak bisa dideteksi hanya dengan memahami perilaku individu di dalamnya, tetapi harus dipahami institusi asal mereka (partai politik), hubungan kolektif wakil dengan partai asalnya, dan hubungan antara kinerja parlemen dan kepentingan partai politik. Di ruang-ruang logika inilah kita bisa menemukan subkultur politik aneh seperti korupsi sistemik, kerja malas, kurang serius berpikir tentang rakyat, dan sebagainya dapat ditemukan.

Dalam pembicaraan tengah malam yang tak begitu panjang dengan Pipit R Kartawidjaya, ia membandingkan pemerintah Jerman dan Indonesia dalam hal administrasi pemerintahan. Di kita, ganti menteri berarti ganti kebijakan. Ganti presiden, ganti haluan. Itu terjadi di kebanyakan titik birokrasi. Padahal, administrasi pemerintahan sesuatu yang berbeda sekali dengan jabatan politik yang dipangku presiden, gubernur, bupati/walikota, menteri, ataupun wakil rakyat. Ada jarak antara mereka dan struktur administrasi pemerintahan. Maka, ganti menteri tak berarti ganti kebijakan. Sebagai konsultan administrasi pemerintahan untuk pemerintah Jerman, Pipit memahami lebih dalam masalah ini, sehingga dari dulu mendorong supaya RUU Administrasi Pemerintahan — yang kini masuk daftar Prolegnas di DPR — segera disahkan, itu masuk akal. Tetapi apakah ide Pipit sejalan dengan Kementerian Aparatur Negara dan legislator di Senayan? Kita tidak tahu!

Lantas, di mana dasar masalah kita? Semua kita bisa berbeda jawaban. Tapi, satu hal yang perlu kita garis bawahi bersama di sini, dalam rangka reformasi politik yang substansial, yaitu perubahan paradigma. Cara berpikir diubah supaya jelas orientasi dari setiap tindakan politik. Bahwa berpolitik tak hanya soal bagaimana membangun trek menurut kemauan dan kepentingan politisi tetapi bagaimana mendamaikan kepentingan politisi dengan kepentingan umum dalam trek politik demokrasi yang benar untuk kepentingan yang lebih besar. Maka, politisi boleh datang dan pergi, asalkan tanggung jawab kata kuncinya.

Penulis adalah pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia


Tags: , , , , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami