Kategori-kategori | Hak Asasi Manusia, Indonesia

Surat terbuka kepada Prof. Dr. Amien Rais

Berlin, 18 September 1998

Watch Indonesia! (old address! for actual address please refer to main page)
Haus der Demokratie
Friedrichstr. 165
10117 Berlin

holocaust

rel kereta api menuju kamp konsentrasi Auschwitz-Birkenau

Dengan hormat,

perkenankan kami pertama-tama menyampaikan selamat atas pendirian Partai Amanat Nasional (PAN). Semoga partai baru ini akan berperan sebagai suatu lembaga yang berpengaruh dalam perjuangan mencapai demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia. Besar pula harapan kami, bahwa PAN akan berhasil menghidupkan kembali suasana pro-reformasi seperti yang pernah terjadi pada bulan-bulan menjelang pengunduran diri Presiden Suharto, mengingat peran Anda yang cukup besar pada masa-masa tersebut. Menghadapi persoalan yang masih berlangsung dewasa ini, kami melihat semakin pentingnya dukungan Anda demi tercapainya penyelesaian permasalahan politik dan ekonomi yang sudah terlampau berat dibebankan kepada masyarakat Indonesia.

Sebagai seorang politikus dan merupakan salah satu tokoh dari masyarakat, kami mendapatkan kesan yang cukup mendalam dari kepribadian Anda. Dari hasil pertemuan dengan Anda beberapa waktu yang lalu, tepatnya dalam pertemuan INFID di Bonn-Jerman, kami menaruh simpati yang tinggi, terutama terhadap cara penyampaian pemikiran-pemikiran politis Anda pada waktu itu. Terlebih lagi kejujuran Anda dalam mengakui kesalahan-kesalahan langkah politis Anda pada masa-masa yang lalu.

Salah satu sikap tersebut yang mendorong keinginan kami, Watch Indonesia! – Organisasi Non Pemerintah yang bergerak di bidang HAM, Demokrasi serta Lingkungan, yang berkedudukan di Jerman – guna menyampaikan tanggapan atas pernyataan Anda yang belum lama ini dimuat dalam salah satu harian Singapura “The Straits Times” tertanggal 4 Agustus 1998. Sebuah cuplikan jawaban Anda, berkaitan dengan pengungsi etnis Tionghoa yang menurut berbagai sumber mencapai 170.000 jiwa, adalah sebagai berikut:

“It is a blown-up figure, just like when the Israelis said that six million Jews had been killed in World War II” (“angka ini berlebihan, sama seperti halnya apabila orang-orang Israel mengatakan bahwa 6 juta Yahudi dibunuh pada Perang Dunia II”).

Bahwa Anda mengutarakan pendapat adalah sesuatu yang menjadi bagian dari hak hidup Anda. Dalam hal ini, mungkin Anda memang sudah memperhitungkan dampaknya, atau mungkin juga Anda terlalu gegabah dalam melakukan manuver. Akan tetapi hal yang tidak bisa dipungkiri adalah, bahwa pada kenyataannya banyak orang Jerman yang sangat terkejut, kuatir, dan bertanya-tanya, khususnya menyangkut motivasi, relevansi dan kebenaran dari perbandingan diatas. Kenapa Amien Rais bicara begitu? Sejauh manakah keuntungan yang ingin didapat dari perbandingan nasib WARGA INDONESIA etnis Tionghoa itu dengan korban Yahudi di Eropa? Apakah dengan ucapan tersebut Amien Rais ingin mengecilkan nasib buruk yang dialami para korban rasisme di Indonesia atau malah ingin memancing simpati dari “ummat” Islam? Wallahhuallam. Dan yang terakhir adalah, apakah dengan ungkapan tersebut Amien Rais sadar betul dan (mau) mengerti mengenai sejarah orang Yahudi yang penuh diskriminasi dan pembunuhan massal itu? Hal inilah yang sedikit ingin kami kemukakan disini, karena bagi kami tidak bisa dengan mudah menutup mata dan telinga terhadap perbandingan-perbandingan seperti diatas.

Sama seperti halnya dengan Anda, menyangkut keabsahan jumlah yang dikemukakan (170.000 orang), kami sendiri tidak tahu persis apakah jumlah tersebut riil atau tidak, lebih atau malah kurang. Sekedar membuat perbandingan angka-menurut hemat kami-tetap tidak menyentuh akar dari sebab-akibat persoalan yang ada, bahkan mungkin justru hanya memberikan keuntungan politis atau ekonomi bagi pihak-pihak tertentu. Sebaliknya, pemikiran yang mengarah pada nilai-nilai kemanusiaan akan cenderung tidak melihat sama sekali pembenaran atas jatuhnya korban, lebih-lebih disebabkan ketakutan. Dengan kata lain, jumlah 100.000 atau 170.000 bukan merupakan faktor terpenting untuk diperdebatkan. Begitu juga sama halnya dengan angka 6 juta korban Yahudi.

Bahwa angka 6 juta tidak terbukti, Anda memang benar. Hingga saat ini angka tersebut masih merupakan perkiraan realistis dari para pakar, dengan perkiraan minimal 4 juta korban. Toh hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan-bahkan dilarang oleh UU Jerman-untuk mengecilkan kejahatan-kejahatan yang pernah dibuat oleh Diktatur fasis Hitler pada eranya. Hitler dan para anteknya menentukan orang Yahudi sebagai “wabah” (hasil perjanjian di Wannsee 1938). Aparat negara merencanakan pembunuhan massal orang Yahudi secara sistematis dengan menggunakan infrastruktur dan teknologi yang canggih. Kamp-kamp konsentrasi, yang sudah dirancang dan dijalankan sebelum Perang Dunia II, tidak berbeda jauh dari industri pemotongan ternak. Sangat mengerikan.

Holokaus tidak terbatas pada orang Yahudi saja. Hitler juga ingin memusnahkan para pengamat komunisme dan demokrasi sosial, orang kelana (warga Roma dan Sinti), homoseksual, saksi Yehova dan lain-lain, meskipun tidak bisa disangkal bahwa pada akhirnya kebanyakan korban adalah orang Yahudi. Tidak ada kejahatan yang lebih parah pada abad ini! Holokaus Hitler yang begitu sistematis serta sistem negara diktatur fasis Hitler tidak mungkin disamakan dengan kejahatan-kejahatan diktator-diktator lain, tidak terkecuali Stalin, Pol Pot, Pinochet, Mobutu atau Suharto.

Bukan maksud kami sama sekali untuk mengecilkan kejahatan diktator-diktator tersebut, justru sebaliknya. Bagi kebanyakan orang yang berpengalaman langsung atau berpengetahuan serta mendalami kejadian di Jerman antara tahun 1933 s/d tahun 1945, merasakan bahwa pengalaman sejarah tersebut menjadikan salah satu cambuk dan motivasi utama untuk mendukung dengan aktif gerakan solidaritas dengan masyarakat tertindas di negara manapun mereka berada, lebih-lebih yang terstruktur rapi dan ditunjang oleh kekuasaan. Para pendukung itu sepakat dalam keyakinan bahwa sejarah Jerman yang buruk itu tidak boleh terulang lagi, dimanapun, yang dalam perkembangannya, dewasa ini disalurkan dalam berbagai gerakan-gerakan seperti, anti totalitarisme, anti rasisme dan anti militarisme. Hal ini pulalah yang sedikit banyak memberikan keyakinan kepada kami, bahwa seluruh manusia punya kewajiban untuk menentang penindasan di negeri lain, termasuk di Indonesia. Tentu saja kewajiban ini termasuk dukungan guna menciptakan kondisi yang demokratis dan kemakmuran untuk semua lapisan masyarakat.

Salah satu pengalaman pahit bagi pejuang-pejuang anti Hitler di Jerman adalah diamnya seribu bahasa negara-negara tetangga atas kekejaman Diktator tersebut, bahkan ada yang bekerjasama (kolaborasi) dengan Hitler. Negara Swiss, yang bangga atas sejarah demokratis yang sudah ratusan tahun umurnya, pada saat itu menentukan diri sebagai negara yang “netral”. Namun dilain pihak, bank-bank Swiss dengan senang hati menukar, menyimpan emas Yahudi yang dicuri para Nazi, termasuk emas gigi dari korban yang dibunuh di kamp konsentrasi. Bahkan Yahudi yang melarikan diri ke Swiss atau pengungsi politik lainnya kebanyakan ditolak. Mereka diusir kembali, lantas ditangkap dan/atau dibunuh di kamp-kamp konsentrasi Jerman. Begitu juga dengan tentara kolonial Inggris yang ada di Palestina: Mereka tidak suka dengan pengungsi Yahudi dari Eropa. Mereka yang datang dengan kapal diusir kembali sampai para pengungsi kelaparan di kapalnya. Lain lagi, ada yang membakar kapalnya supaya tidak mungkin diusir kembali ke tangan Nazi yang sudah berkuasa di seluruh Eropa. Banyak yang mati, yang lain berenang menuju pantai Palestina. Di sana mereka ditahan lagi sebagai “imigran ilegal”. Banyak dari “imigran ilegal” tersebut malah bukan merupakan penganut zionisme. Ajaran ciptaan Theodor Herzl yang sudah sejak awal abad 19 ditemukan, dalam kenyataannya tidak mendapatkan begitu banyak simpati dari masyarakat Yahudi. Orang Yahudi yang menuju Palestina guna menciptakan negara Israel cuma sedikit. Jumlah dalam skala besar baru datang dalam berbagai gelombang pengungsi pada zaman Hitler. Lebih banyak lagi berhasil melarikan diri ke Amerika dan negara-negara lainnya. Bahkan ada yang sampai Shanghai di Tionghoa. Pengalaman mereka di Jerman (dan di seluruh Eropa yang dijajah Jerman) begitu traumatis supaya banyak sekali tidak ingin kembali. Di Israel sampai kini ada orang tua yang masih terkejut bila mereka cuma mendengar suara Jerman.

Diskriminasi terhadap orang Yahudi bukan hal yang baru muncul pada zaman Hitler. Selama beberapa abad Yahudi di Eropa dituduh sebagai peracun sumber air dan sering menjadi kambinghitam. Sering pula terjadi pogrom (pengejaran dan pembunuhan massal) terhadap orang Yahudi. Diskriminasi dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat juga dikenakan pada orang Yahudi, misalnya mereka dilarang bekerja pada bidang-bidang tertentu, yang pada akhirnya kebanyakan dari mereka yang berdagang. Akibatnya, jumlah mereka yang bekerja sebagai pedagang sangat banyak dan cukup berhasil dan bahkan dapat memberikan pinjaman kepada para pengusaha “pribumi”. Hal tersebut sedikit banyak menyebabkan keirian sosial yang semakin berkembang dimasyarakat, yang pada saatnya dipergunakan secara jitu oleh penguasa pada waktu itu. Holokaus cuma puncak kelabu sejarah Yahudi yang pahit itu. Di Jerman kini budaya Yahudi kontemporer tidak dijumpai lagi. Dulu ada ratusan tempat ibadah (sinagog), ada penulis Yahudi, koran Yahudi, restoran Yahudi, toko Yahudi, musik Yahudi, sekolah dan rumah sakit Yahudi, percetakan dan koran-koran Yahudi dan sebagainya.

Bapak Amien Rais yang terhormat,

Tentu saja tema-Holokaus Yahudi-tidak ditabukan untuk didiskusikan, yaitu dengan batasan-batasan ilmiah, yang bertujuan untuk mencari titik terang dari sejarah hitam tersebut. Dan sudah menjadi rahasia umum pula, khususnya di Jerman, bahwa ada kelompok-kelompok tertentu yang tetap ingin mengecilkan persoalan diatas. Kelompok-kelompok tersebut dikenal dengan sebutan ekstrim kanan, Neo-Nazi atau Skinhead. Tindakan mereka tidak hanya sebatas pelecehan terhadap nasib Yahudi di sini, tetapi lebih dari itu, yaitu sikap anti terhadap semua orang asing.

Para ekstrim kanan ini sangat rasis, anti pendatang asing. Seringkali mereka menjarah rumah tinggal orang asing, atau mereka mengancam, memukul, dan bahkan membunuh orang asing. Dengan sinis boleh dikatakan, mereka sangat “egalistis”: Mereka tidak pernah membedakan teman-teman Indonesia yang kuliah di sini dari pengusaha Indonesia yang mengunjungi mitra usahanya di Jerman, mereka juga tidak akan membikin perbedaan antara suaka politik dengan pegawai negeri di Dubes RI, pendeknya mereka tidak akan pernah berhenti mengancam orang asing.

Pengamat ekstrim kanan itu memang bersimpati dengan Hitler dan ada kecenderungan mereka untuk membela rasisme anti Yahudi. Akan tetapi meskipun demikian cuma sedikit dari mereka berani untuk mengecilkan angka Yahudi. Alasannya: Di hukum pidana Jerman ada pasal yang melarang pemungkiran Holokaus. Tentu saja, diskurs para ilmuwan mengenai jumlah korban sama sekali tidak dilarang kalau mendasarkan fakta dan sumber informasi yang memenuhi syarat ilmiawi. Tetapi ucapan-ucapan seperti kutipan Anda di “Straits Times” itu sedikit menimbulkan menjadi persoalan – apalagi kalau diulang lagi.

Tentu saja, diskusi mengenai angka yang benar serta nasib buruk yang dialami Yahudi di Eropa tidak layak dijadikan pembenaran atas pelanggaran hak tanah dan hak asasi manusia orang Palestina. Kami juga menyadari, bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri rakyat Palestina tidak dapat diabaikan begitu saja oleh pihak Israel. Banyak warga Israel – walaupun bukan mayoritasnya – setuju dengan pendapat ini.

Ada kesan bahwa dunia Islam memihak dengan orang Palestina yang sangat Anti Israel. Kenapa begitu? Sengketa Israel/Palestina sebenarnya bukan konfrontasi antara Yahudi dan Islam. Rakyat Palestina berdiri dari Muslim dan Kristen. Contohnya, kota Bet Lehem di Tepi Barat (West Bank) bermayoritas Kristen. Hak-hak mereka dilanggar juga oleh pihak pemerintah dan militer Israel. Mencari penyelesaian konflik itu atalah tugas yang susah sekali. Slogan-slogan yang konfrontatif tidak diperlukan dan tidak membantu. Yang lebih cocok adalah analisa sengketa ini secara mendalam supaya kita mengerti dengan baik sejarah, budaya, mentalitas dan kebutuhan rakyat-rakyat di sana.

Kami yakin bahwa pengetahuan tentang sejarah kelabu negeri Jerman adalah langkah yang penting dalam proses itu. Pengetahuan yang lebih mendalam mengenai zaman Hitler juga adalah bab yang penting pada pendidikan politik di Indonesia. Dengan mempelajari totalitarisme Orde Baru serta sejarah diktatur Hitler mungkin orang-orang akan mengerti dengan lebih gampang prasarana mana kira-kira penting untuk masa depan yang aman dan demokratis, dan mana yang tidak.

Mungkin saja Anda ingin menyatukan pendidikan politik tersebut dengan program reformasi PAN. Apakah kebebasan media massa adalah satu topik di agenda PAN? Kalau ya, apakah PAN akan berjuang supaya film “Schindler’s List” (karya Steven Spielberg) boleh diputar di bioskop-bioskop Indonesia?

Demikian surat terbuka kami. Semoga langkah ini bisa menjadi tahapan awal dalam menggalang perjuangan selanjutnya demi tercapainya kehidupan demokratis. Terimakasih atas perhatian Anda.

Salam reformasi,

Alex Flor
Watch Indonesia!




Straits Times, August 4, 1998

170,000 ‘crazy figure’ for Chinese exodus

Rais on those who fled

JAKARTA-Indonesia’s leading Muslim leader and presidential hopeful, Mr Amien Rais, said yesterday that the 170,000 figure for the number of ethnic Chinese who fled the country in the aftermath of violent riots here was exaggerated. „All the Chinese who have fled number not 170,000. It is a crazy figure…it is much less, we should not be misled by our imagination,“ he told diplomats, bureaucrats and businessmen at a luncheon here.„It is a blown-up figure, just like when the Israelis said that six million Jews had been killed in World War II,“ said Mr Rais, who heads the 28-million strong Muhammadiyah Islamic movement.
He did not give a figure but said his ethnic Chinese friends had told him the 170,000 figure was exaggerated.
Violent mass riots broke out in several Indonesian cities, including the capital, in May, leaving about 1,200 people dead and massive devastation.
Ethnic Chinese, who account for about six million of Indonesia’s 202 million people, were the main targets of the violence as they are believed to dominate the private, urban economy and hold a large chunk of the country’s wealth.
Ethnic Chinese, he said, were „part and parcel of the nation, we should not discriminate against any part of our society“.
He said one way to prevent such violence against ethnic Chinese Indonesians was for the country to try to devise new economic policies.
„It is not bad, if we can learn from the economic policy of our neighbour Malaysia,“ he said.
Malaysia has policies which encourage indigenous Malay entrepreneurship and businesses and also accord priority to Malays in several other fields.
Mr Rais, who was among the first to challenge the sole candidacy of former President Suharto in the run-up to the presidential elections in March, said he was still interested in running for the country’s top post next year.
„Yes, I am more than ready to become President of Indonesia,“ he said.
He has said his organisation planned to launch a political party on Indonesia’s independence day, Aug 17.

AFP, Reuters


Tags: , , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami